Jakarta, suarapapuanews– Radikalisme adalah musuh bersama yang dapat menyusup ke berbagai elemen masyarakat, tidak terkecuali aparatur negara. Oleh sebab itu, aparatur negara harus bebas radikalisme agar pelayanan publik dan roda pemerintahan negara dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Menjadi aparat pemerintah seperti pegawai negeri, polisi, atau prajurit TNI adalah pekerjaan impian karena memiliki gaji tetap dan ditambah lagi ada dana pensiun walau sudah purna tugas. Oleh karena itu wajar jika banyak anak yang bercita-cita jadi aparat negara. Selain keren karena mengenakan seragam yang gagah, jadi aparat adalah salah satu cara untuk membaktikan diri pada negara.
Akan tetapi jika sudah diangkat jadi aparat negara tentu wajib taat pada aturan yang dibuat oleh pemerintah. Salah satunya adalah wajib bebas dari radikalisme. Penyebabnya karena jika jadi anggota kelompok radikal, atau minimal simpatisan, tentu jadi musuh negara karena ada keinginan untuk membelot. Jangan sampai seorang ASN atau aparat lain malah diam-diam menyebarkan radikalisme di negeri ini.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa intinya seorang ASN wajib bebas radikalisme. Terlebih untuk calon pejabat tinggi. Jika ketahuan radikal maka mohon maaf tidak bisa diangkat jadi pejabat.
Menteri Tjahjo melanjutkan, pemerintah memantau tiap aparatnya melalui media sosial. Dari jejak digital maka diketahui apakah ia termasuk anggota kelompok radikal atau bukan. Selain itu, pasangan (suami atau istrinya) juga harus bebas radikalisme, jadi wajib untuk saling mengingatkan.
Pemantauan lewat media sosial memang cukup efektif karena jejak digitalnya kelihatan. Jika ada ASN atau aparat lain yang ketahuan mem-follow akun radikal, atau sering membuat status / share tweet tentang jihad, negara khilafah, radikalisme, dll maka sudah dipastikan ia sudah teracuni oleh radikalisme.
Jika ketahuan jadi anggota kelompok radikal maka aparat tersebut akan kena hukuman. Yang pertama hanya teguran jika memang ia baru sebatas simpatisan. Yang kedua adalah penundaan kenaikan pangkat atau seperti yang dipaparkan oleh Menteri Tjahjo, pelarangan dirinya jadi pejabat tinggi. Hukuman ini dirasa setimpal karena ia lebih memilih untuk jadi anggota kelompok radikal dariapada setia pada negara.
Jika kena hukuman maka ASN atau aparat pemerintah tersebut wajib evaluasi dan berjanji untuk tidak lagi berkaitan dengan radikalisme. Akan tetapi jika masih tetap saja, maka ia bisa kena hukuman kelas berat. Pemberhentian secara tidak hormat menjadi hukuman paling berat dan ganjaran ini dirasa setimpal karena jika aparat jadi radikal, ia menjadi penghianat bangsa.
Jika diberhentikan secara tidak hormat maka otomatis aparat tersebut tidak berhak menerima uang pensiun. Hal ini bukanlah sebuah ketidak adilan, melainkan cara ampuh agar ASN atau aparat lain tidak mau tersangkut radikalisme. Jika ada ancaman sebesar ini maka tiap aparat akan sadar dan tidak akan kena bujuk anggota kelompok radikal.
Selain itu, jika ada hukuman kelas berat maka juga menguntungkan negara. Jangan sampai ia memanfaatkan jabatan atau fasilitas yang diberikan negara dan akhirnya disalahgunakan untuk menyebarkan radikalisme. Seorang ASN atau aparat yang kena radikalisme wajib diganjar seperti itu agar benar-benar kapok.
Aparat pemerintah seperti anggota TNI, polisi, dan pegawai negeri adalah abdi negara, jadi wajib untuk setia pada negara. Jangan sampai malah jadi anggota atau simpatisan kelompok radikal, karena sama saja jadi pengkhianat bangsa.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi institute
(I/AA)