SEMARANG – Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) gencar melakukan sosialisasi KUHP baru. Kali ini, Mahupiki menyelenggarakan sosialisasi KUHP baru di Kota Semarang, Rabu (1/2/2023).
Sosialisasi KUHP tersebut juga dihadiri oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Topo Santoso, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Prof. Harkristuti Harkrisnowo dan Guru Besar Universitas Krisnadipayana, Prof. Indriyanto Seno Aji.
Pakar hukum yang juga sebagai Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Topo Santoso menjelaskan keunggulan utama dari KUHP baru yaitu menggunakan Bahasa Indonesia.
” KUHP nasional ini bedanya bahasa Indonesia. Yang Selama ini kita gunakan sampai sekarang sampai 3 tahun ke depan itu terjemahan,” ujar Prof Topo Santoso dalam Sosialisasi KUHP di Semarang, Rabu (1/2/2023).
Seperti diketahui, KUHP yang digunakan saat ini hingga tiga tahun kedepan merupakan KUHP terjemahan dari KUHP WvS. Menurutnya, KUHP WvS memiliki banyak penafsiran dari berbagai penerjemah.
“Terjemahan satu dengan yang lain berbeda-beda istilah yang digunakan bahkan sampai ancaman pidananya ada yang beda-beda,” Katanya.
Prof. Topo menambahkan, KUHP Nasional ini merupakan simplifikasi dari KUHP WvS. Saat ini, KUHP Nasional hanya menggunakan dua buku yaitu buku I tentang ketentuan umum dan buku II tentang tindak pidana.
“KUHP Nasional kita ini hanya dua buku, KUHP WvS ada tiga buku,” ujar Prof Topo Santoso.
Sementara itu, Prof. Harkristuti Harkrisnowo dalam sosialisasinya menjelaskan bahwa dalam penyusunan KUHP nasional telah dilakukan diskusi publik yang mencapai kesimpulan bahwa terdapat empat pasal yang dihapuskan dalam KUHP yaitu tentang izin dokter gigi, penggelandangan, mengenai unggas, dan advokat curang.
“Pada satu tahun dua tahun terakhir setelah kita melakukan pembicaraan tahun 2019, kami mengadakan jalur publik dan sosialisasi RUU KUHP di banyak provinsi, hampir semua provinsi dan dari situ kemudian kami mendrop atau menghapuskan 4 pasal yang merupakan permintaan dari publik yang tentu saja kami kaji dengan baik.” katanya.
Dalam pemaparannya, Prof. Harkristuti juga menjelaskan terkait hukum adat (living law) yang menurutnya banyak miss konsepsi mengenai hukum adat di dalam masyarakat.
Prof Tuti mengatakan bahwa hukum adat (living law) yang masih ada di KUHP Nasional merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada hukum adat yang ada di setiap daerah di Indonesia. Meski begitu, sanksi yang terkait dengan hukum adat akan dibatasi.
“Harus kita catat juga sudah saudara bahwa living law ini mungkin kalau di di Pulau Jawa tidak terlalu banyak ya, tapi di luar Pulau Jawa kita masih melihat adanya hukum adat. Nah sanksinya juga dibatasi, sanksinya itu harus atau dianggap sebanding dengan kategori 2 dari denda yaitu 10 juta.”, ujarnya.
Ia juga memaparkan dan menjelaskan mengenai berbagai isu actual yang mendapat banyak kontroversi dalam KUHP Nasional diantaranya tentang aborsi, kohabitasi, perzinahan, dan lain sebagainya untuk menghindari miss persepsi dari kalangan masyarakat.
Pada kesempatan yang sama, Prof. Indriyanto Seno Aji menjelaskan bahwa KUHP ini memiliki trias hukum pidana yang menjadi pilar system hukum pidana nasional.
“Mengenai Tindak pidana atau mengenai kriminal, mengenai pertanggungjawaban pidana kriminal atau responsibilities, Terus mengenai pidana dan pemidanaan yang disebut di sana itu dengan punishment dan kriminal treatment. Sistem sistem itu dari 3 pilar itu jadi trias.”, katanya.
Dalam pemaparannya, Prof Indriyanto berbicara secara khusus dalam bab 35 mengenai tindak pidana khusus yang ada dalam KUHP Nasional. Menurutnya, adanya tindak pidana khusus dalam KUHP baru merupakan representasi dari sejarah pemikiran dan pembentukan KUHP Nasional.
“Dari perjalanan sejarah pembentukan KUHP itu kita menghendaki harmonisasi dan sinkronisasi. Apa sistem hukum pidananya kita? Seperti apa sinkronisasinya itu terutama. Yang menjadi masalah ini banyaknya tersebarnya hukum hukum pidana, pengaturan hukum pidana, regulasi hukum pidana di luar KUHP itu inilah secara nasional yang dikehendaki,” katanya.
Selain sebagai UU hukum pidana yang sah, KUHP baru juga harus menjadi pedoman yang bersifat dinamis bagi rakyat Indonesia. Misalnya, pencegahan dan antisipasi kemungkinan potensi kerawanan sosial dalam kehidupan masyarakat Indonesia tergantung dari seberapa kokoh negara menjaga dan mengawal UU KUHP agar tetap efektif dan berdaya guna bagi kemaslahatan masyarakat Indonesia. (*)