Jakarta – Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru tengah disosialisasikan kepada seluruh elemen masyarakat, termasuk kalangan penegak hukum. Sosialisasi mengenai KUHP baru akan terus dilakukan selama tiga tahun ke depan. Sosialisasi KUHP baru ke para penegak hukum serta pengadilan dilakukan karena berkaitan dengan tujuan dan pedoman pemidanaan, khususnya terkait penetapan putusan. KUHP baru diperlukan sebagai pedoman untuk menjaga kehormatan pengadilan.
Seperti yang diketahui, Presiden Joko Widodo telah resmi mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru menjadi sebuah Undang-Undang (UU) pada 2 Januari 2023. KUHP baru tersebut terdiri dari 37 bab, 624 Pasal dan 345 halaman yang terbagi atas dua bagian, yakni bagian pasal dan penjelas.
Dengan disahkannya KUHP baru ini, Indonesia akhirnya memiliki peraturan hukum pidana yang bersifat generalis dan dirancang sendiri setelah dinyatakan merdeka pada tahun 1945. KUHP baru akan menggantikan KUHP lama peninggalan Belanda, yang dinilai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan dan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
KUHP yang berlaku di Indonesia sebelumnya berasal dari Belanda dan memiliki nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS). WvS diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Upaya pembaruan KUHP dimulai sejak tahun 1958 yang ditandai dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN). Kemudian pada tahun 1963 diselenggarakan Seminar Hukum Nasional I yang menghasilkan berbagai resolusi antara lain untuk merumuskan KUHP Nasional.
Untuk itu, Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) menggelar sosialisasi KUHP baru yang dilaksanakan di Ternate, Maluku Utara. Sosialisasi KUHP baru ini guna memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai KUHP baru atau nasional yang dibuat berdasarkan nilai-nilai luhur Pancasila. Disisi lain, sosialisasi KUHP baru ini juga sebagai pengenalan terhadap pasal-pasal dalam KUHP baru yang dinilai mengalami perubahan paradigma.
Sosialisasi yang diadakan pada Senin, 30 Januari 2023 ini menghadirkan berbagai narasumber, salah satunya adalah Pakar Hukum Pidana Universtas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto. Dalam sosialisasinya, Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto menyampaikan bahwa pengakuan hukum adat, dan delik adat yang merupakan ciri khas hukum pidana bangsa Indonesia karena delik adat itu sejak merdeka eksistensinya diakui oleh negara. Hukum adat juga menjadi puncak-puncak kebudayaan yang harus diakui jika konsisten dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Selain itu, KUHP nasional hanya ada dua buku yakni ketentuan umum dan tindak pidana, sedangkan KUHP kolonial ada tiga buku. Di dalam KUHP baru bahwa percobaan tersebut hanya diancam dengan denda kategori dua dari delapan kategori denda. Penonjolan keadilan di atas kepastian hukum. Prinsip ini hidup didalam doktrin dan praktik peradilan yang tidak tertulis.
KUHP adalah kitab besar berisi pasal-pasal yang mengatur hukum pidana di Indonesia. KUHP baru yang sudah sah, menggantikan posisi KUHP lama. Namun, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa KUHP lama yang sudah dijadikan pedoman hukum selama puluhan tahun, merupakan terjemahan dari hukum Belanda saat menjajah Indonesia. Bahkan usianya sudah lebih dari 100 tahun.
KUHP baru akan membawa perubahan menuju hukum modern dan menghapus hukuman ala kolonial yang menitikberatkan pada hukuman fisik dan balas dendam. UU KUHP baru ini akan membawa Indonesia ke hukum pidana modern. Karakteristik hukum modern lebih merefleksikan nilai-nilai bangsa Indonesia yang berdaulat, beradab, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Terkait hal itu, Plt Dirjen Peraturan Perundang – Undangan Kemenkumham Dr. Dhahana Putra mengapresiasi adanya KUHP nasional. Menurutnya, pemikiran penggantian KUHP yang bersumber dari produk kolonial Belanda WvS sudah ada sejak lama. Dalam KUHP kolonial, pendekatan yang digunakan adalah semua kejahatan adalah perbuatan pidana, sehingga over capacity di Lapas dan tidak sesuai dengan kondisi kemasyarakatan. Oleh sebab itu, diperlukan sebuah paradigma hukum modern yang dapat memberikan alternatif sanksi yang sejauh ini telah terakomodir dalam KUHP nasional.
KUHP nasional yang telah disahkan pada Desember 2022 juga telah dibahas secara ketat dan dilaksanakan sejak lama. Pembahasan tersebut telah dimulai sejak 1963 dan melibatkan berbagai pakar hukum terkemuka. Dengan demikian, isu bahwa KUHP nasional disahkan secara tergesa-gesa adalah isu keliru yang tidak benar sama sekali.
Sementara itu, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dr. Surastini Fitriasih menilai bahwa landasan berpikir ketentuan KUHP mengenai Pidana dan Pemidanaan memandang bahwa Retributif atau Pembalasan atau Lex Talionis sudah harus ditinggalkan. Selain itu, kearifan lokal perlu mendapat tempat untuk menggali nilai-nilai tradisional.
Untuk itu, sosialisasi KUHP baru ini merupakan langkah penting dalam merealisasikan sistem hukum pidana Indonesia yang modern dan berdasarkan nilai-nilai luhur pancalisa. Dengan adanya sosialisasi yang diselenggarakan oleh MAHUPIKI ini diharapkan bisa menjadi suatu bentuk edukasi kepada seluruh elemen masyarkat bahwa Indonesia sudah memiliki KUHP Nasional yang berlandaskan atas Pancasila dan nilai-nilai kebangsaan.