Oleh: Ayu Sri Mulyadi *)
Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disahkan menjadi Undang-undang dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RKUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 6 Desember 2022. Masyarakat Indonesia patut mendukung KUHP yang merupakan produk murni buatan anak bangsa, dan menggantikan Undang-undang KUHP (UU KUHP) sebelumnya yang merupakan warisan kolonial Belanda.
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Supriansa menyatakan pengesahan KUHP patut disyukuri oleh seluruh masyarakat. Mengingat, KUHP merupakan produk buatan anak bangsa yang lebih mengedepankan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia.
Supriansa menambahkan bahwa KUHP warisan kolonial Belanda yang dipakai sampai kurang lebih 70 tahun sudah banyak yang tidak relevan dengan situasi masyarakat Indonesia khususnya pada masa ini. Atas dasar itulah, DPR RI dan pemerintah melakukan rekodifikasi atau perubahan UU KUHP ini.
Walau demikian, Supriansa melanjutkan, Komisi III DPR dan Pemerintah membuka ruang bagi masyarakat untuk melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) apabila masih ada sebagian masyarakat yang tidak terpuaskan pasal demi pasal yang ada dalam KUHP baru. Ruang judicial review tersebut, ungkap Politisi Fraksi Partai Golkar ini, sekaligus sebagai cermin implementasi bahwa negara Indonesia merupakan negara demokrasi yang sangat bagus.
Sebelumnya di hari yang sama, telah digelar Rapat Paripurna DPR RI Ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023 dalam rangka Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU KUHP yang dibacakan oleh Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto, digelar di Ruang Rapat Paripurna Gedung Nusantara II DPR RI, Senayan, Jakarta.
Dalam sidang tersebut, pihak Pemerintah diwakilkan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly dan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej. Adapun hasil rapat paripurna memastikan bahwa DPR dan Pemerintah sepakat mengesahkan RUU KUHP menjadi UU KUHP.
Menteri Yasonna H. Laoly mengatakan pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri. Menurut Menteri Yasonna, produk Belanda ini dirasakan sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan hukum pidana di Indonesia. Hal ini menjadi salah satu urgensi pengesahan RUU KUHP.
Menteri Yasonna juga menjelaskan bahwa KUHP yang baru saja disahkan telah melalui pembahasan secara transparan, teliti, dan partisipatif. Pemerintah dan DPR telah mengakomodasi berbagai masukan dan gagasan dari publik.
Meskipun demikian, Menteri Yasonna mengakui perjalanan penyusunan RUU KUHP tidak selalu mulus. Pemerintah dan DPR sempat dihadapkan dengan pasal-pasal yang dianggap kontroversial, di antaranya pasal penghinaan Presiden, pidana kumpul kebo, pidana santet, vandalisme, hingga penyebaran ajaran komunis. Namun, Menteri Yasonna meyakinkan masyarakat bahwa pasal-pasal dimaksud telah melalui kajian berulang secara mendalam.
Menteri Yasonna selanjutnya menjelaskan bahwa pengesahan RUU KUHP tidak sekedar menjadi momen historis bagi bangsa Indonesia. RUU KUHP menjadi titik awal reformasi penyelenggaraan pidana di Indonesia melalui perluasan jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana. Menteri Yasonna menjelaskan terdapat tiga pidana yang diatur di dalamnya, yaitu pidana pokok, pidana tambahan, dan pidana yang bersifat khusus.
Dalam pidana pokok, KUHP tidak hanya mengatur pidana penjara dan denda saja, tetapi menambahkan pidana penutupan, pidana pengawasan, serta pidana kerja sosial.
Selain pidana mati, pidana penjara juga direformasi dengan mengatur pedoman yang berisikan keadaan tertentu agar sedapat mungkin tidak dijatuhkan pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana. Keadaan-keadaan tersebut antara lain, jika terdakwa adalah anak, berusia di atas 75 tahun, baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan beberapa keadaan lainnya.
Selanjutnya, pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan hak tertentu, perampasan barang, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan pemenuhan kewajiban adat setempat.
Pelaku tindak pidana dapat pula dijatuhi Tindakan, yaitu perwujudan nyata dari diterapkannya double track system dalam pemidaan Indonesia. Contohnya, UU KUHP mengatur tindakan apa yang dapat dijatuhkan bersama pidana pokok dan Tindakan yang dapat dikenakan kepada orang dengan disabilitas mental atau intelektual.
Terakhir, perumus UU KUHP mengatur badan hukum atau korporasi sebagai pihak yang dapat bertanggung jawab dan dipidana. Penjatuhan pidana pokok, pidana tambahan, dan tindakan dikenakan kepada korporasi dan orang-orang yang terlibat dalam korporasi tersebut, baik pengurus yang memiliki kedudukan fungsional, pemberi perintah, pemegang kendali, hingga pemilik manfaat.
Koordinator Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Dikdik Sadaka menyampaikan bahwa penyesuaian terhadap KUHP sebagai produk hukum zaman kolonial penting untuk dilakukan agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini. Ia berharap pemerintah tetap melakukan sosialisasi terhadap KUHP yang baru disahkan. Melalui sosialisasi tersebut, masyarakat menjadi lebih paham isi dari KUHP dan turut mendukung pembaruan KUHP yang merupakan hasil buatan anak bangsa.
*) Penulis merupakan kontributor Nusa Bangsa Institut