Oleh: Ratna Sari Devi )*
Selangkah lagi, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan segera disahkan menjadi Undang-Undang (UU). RKUHP itu sendiri merupakan sistem pidana di Indonesia yang telah terbentuk dari zaman Kolonial Belanda.
Sementara RKUHP yang disusun dengan nilai-nilai keIndonesiaan (Indonesian Way) berupa upaya dekolonialisasi atau penataan ulang bangunan sistem hukum pidana nasional agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman di Indonesia.
Hal ini tentunya berbeda dengan penyusunan RUU biasa yang sering dibuat selama ini. Akademisi Universitas Indonesia (UI), Dr. Surastini Fitriasih, S.H., M.H., menganggap jika RKUHP ini disahkan maka tidak hanya memberikan ketegasan, namun juga memberikan keadilan hukum di Indonesia yang merata bagi seluruh masyarakat.
Keunggulan dari RUU KUHP yaitu adanya alternatif-alternatif sanksi yang bisa menggantikan pidana penjara menjadi pidana denda, pidana denda diganti dengan pengawasan atau kerja sosial. Menurutnya, pemerintah telah serius dalam menyempurnakan beleid ini, terlihat dari upaya pelibatan seluruh komponen bangsa dalam berbagai diskusi.
Langkah ini diyakini bukan hanya membeirkan kepastian hukum yang konkret melainkan juga membawa Indonesia menghasilkan hukum modern dan mencerminkan nilai luhur bangsa.
Hal senada juga dikatakan Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Albert Aries meminta kepada seluruh elemen bangsa termasuk masyarakat umum untuk terus terlibat memberikan masukan terhadap penyempurnaan RUU tersebut sebelum disahkan menjadi UU.
Pihaknya optimis dengan dibukanya komunikasi dan dialog publik, tidak hanya menguatkan tetapi yang paling penting adalah masyarakat harus paham pasal per-pasal dari RUU KUHP termasuk pasal yang menjadi pasal krusial.
Disisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil menilai RKUHP masih memuat sejumlah pasal bermasalah. Salah satunya pasal 188 mengenai penyebaran paham yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam draf RKUHP versi 24 November 2022, pasal 188 mengatur tentang Penyebaran atau Pengembangan Ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila.
Di dalam ayat 1 menyebutkan bahwa setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan paham tersebut akan dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Albert Aries menerangkan bahwa klausa “Paham lain yang bertentangan dengan Pancasila” yang dimaksud ialah untuk menjangkau segala paham yang pada dasarnya bertujuan untuk mengganti atau mengubah Pancasila sebagai ideologi dan norma dasar bernegara.
Albert Aries melanjutkan pasal ini tidak akan menciderai kebebasan berpikir dan berpendapat sepanjang ekspresinya tidak untuk menyebarkan atau mengembangkan paham tersebut di Indonesia yang bertujuan mengganti atau mengubah Pancasila.
Kebebasan berpikir dan berpendapat masyarakat juga akan dijamin penuh oleh Konstitusi UUD 1945. Tapi ada pengecualian dalam pasal 188 yang tertuang dalam Ayat 6, yang berbunyi “Tidak dipidana orang yang melakukan kajian terhadap ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme atau paham lain yang bertentangan dengan Pancasila kecuali untuk kepentingan ilmu pengetahuan”.
Alberts Aries menjelaskan yang dimaksud dengan kajian untuk ilmu pengetahuan diantaranya mengajar, mempelajari, memikirkan, menguji, dan menelaah di Lembaga Pendidikan maupun penelitian dan pengkajian tanpa bermaksud menyebarkan atau mengembangkan ajaran tersebut.
Sementara itu, anggota DPR RI Komisi Hukum Fraksi Nasdem, Taufik Basari menilai perlu adanya tafsir yang ketat terhadap Pasal 199 RKUHP ini, sehingga tidak disalahgunakan dan menjadi pasal karet. Taufik juga menyarankan adanya panduan penerapan pasal 188 bagi aparat penegak hukum dalam rangka menjaga nilai-nilai demokrasi dan kepastian hukum.
Draf RKUHP saat ini sudah banyak berubah secara signifikan dibandingkan dengan draf awal versi tahun 2019. Hal-hal yang dikhawatirkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil telah diubah dalam rumusan RKUHP. Taufik juga meminta agar masyarakat tidak perlu khawatir, pasal ini tidak akan memberangus ide-ide kritis masyarakat dan mengeksploitasi Pancasila untuk mengekang pendapat masyarakat sebagaimana pernah terjadi di zaman orde baru.
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan RKUHP menghapus pasal pencemaran nama baik di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Edward menjelaskan bahwa keputusan ini dibuat setelah mendengar masukan dari masyarakat. Menurutnya, ada kekhawatiran di masyarakat karena aparat penegak hukum sering kali menggunakan UU ITE untuk melakukan penangkapan dan penahanan.
Eddy menilai langkah ini merupakan kabar baik bagi iklim demokrasi dan kebebasan berekspresi di Indonesia karena mengedepankan keadilan yang dapat diaplikasikan secara merata kepada seluruh masyarakat.
Selain itu, RKUHP ini juga memperbolehkan rakyat untuk membuat hukum yang mengatur kehidupannya sendiri. Presiden Joko Widodo juga berusaha menjaga semangat reformasi dan menegakkan demokrasi melalui RKUHP di mana suara rakyat akan didengarkan dan masukan terkait RKUHP diperbolehkan.
)* Penulis merupakan pakar hukum pidana Pertiwi Institute.