Suarapapuanews, Jakarta– Perwujudan negara hukum berlandaskan Pancasila memerlukan sistem hukum nasional yang harmonis, sinergis, komprehensif, dan dinamis melalui upaya pembangunan hukum. Salah satu proses pembangunan hukum yang sedang dilakukan pemerintah adalah dengan merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), I Wayan Sudirta menegaskan pentingnya pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai salah satu upaya untuk mendukung pembangunan hukum nasional untuk menggantikan KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yang masih digunakan sampai saat ini. Selain itu, RKUHP menjadi jalan untuk pemberlakuan prinsip hukum umum dan internasional yang modern, misalnya perluasan subjek hukum pidana (korporasi) dan penambahan jenis sistem pemidanaan.
Sudirta mengatakan RKUHP menghormati kekhasan dan kekayaan hukum adat Indonesia dengan mengakui keberadaan hukum pidana adat, namun dengan batasan-batasan tertentu. Hal ini dilakukan sebagai upaya bersama untuk mengurangi “over” kriminalisasi perbuatan-perbuatan tertentu, sekaligus melindungi seseorang secara hukum. Ia menjelaskan dalam Rapat Komisi III bersama kementerian Hukum dan HAM di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, bahwa RKUHP memiliki tujuan pemidanaan yang berubah dari otoriterisme di KUHP sebelumnya menjadi modern dan seimbang.
Sudirta juga menjelaskan RKUHP mengenal “restorative justice” dan bertujuan untuk mengembalikan masyarakat secara seimbang bukan hanya semata untuk pembalasan dendam. Karena itu, ia menghimbau semua pihak memandang secara luas bahwa pembaruan KUHP ini sangat penting setelah melewati lebih dari seratus tahun KUHP peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda.
Disamping itu, Sudirta mengatakan beberapa tambahan untuk mendalami pasal-pasal dalam RKUHP di antaranya pasal tentang hukum yang hidup dalam masyarakat (asas legalitas). Pasal itu dimaksudkan untuk mengakui hukum pidana adat yang selama ini telah berlaku di masyarakat dan diatur dalam peraturan daerah. Menurutnya, maksud dari pasal tersebut adalah pemberlakuan keadilan restoratif dari sisi hukum adat setempat untuk pemulihan korban dan lingkungan.
Selain itu, Sudirta menjelaskan terkait pasal mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dan pasal mengenai penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga. Pasal itu sebenarnya merupakan variasi dari pasal penghinaan yang memang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai delik aduan.
Selanjutnya, pasal terkait penodaan agama yang dimaksudkan untuk menghormati agama yang diakui di Indonesia dan menjadi falsafah bangsa dalam Sila Pertama Pancasila. Selain itu, pasal tersebut merupakan cara untuk perlindungan agama dan menghindari konflik sebagaimana menyadari masyarakat Indonesia yang menghormati agama.
Kemudian, Sudirta mengatakan pasal mengenai penganiayaan hewan, pasal-pasal terkait kesusilaan (perzinahan dan hidup bersama), dan pasal tentang ketentuan peralihan. Ia mengingatkan bahwa ketentuan dalam RKUHP tidak dapat memuaskan seluruh pihak. Maka untuk mengakomodir seluruh perkembangan hukum, RKUHP tetap menghormati instrumen hukum untuk pengujian pasal di level implementasi.
Sejalan dengan Sudirta, Koordinator Informasi dan Komunikasi Hukum dan HAM, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Filmon Warouw saat membuka Sosialisasi RKUHP di Semarang mengatakan bahwa upaya pemerintah merevisi dan menyusun sistem rekodifikasi hukum pidana nasional bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda sehingga sesuai dengan dinamika masyarakat di Indonesia.
Filmon yang mewakili Direktur Informasi Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan, Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Kominfo, Bambang Gunawan mengatakan bahwa pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) telah melakukan Kick Off Dialog Publik RKUHP beberapa waktu lalu. Dialog publik bertujuan memberikan pemahaman kepada masyarakat serta membuka ruang dialog untuk menghimpun masukan terhadap draft RKUHP sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kominfo bersama tim RKUHP juga giat melaksanakan public hearing Sosialisasi RKUHP sebagai pemenuhan persyaratan Pasal 96 Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal tersebut guna menjalankan amanat MK terkait partisipasi publik yang bermakna atau meaningfull participation. Acara ini diharapkan dapat menjadi sarana sosialisasi pembahasan terkait penyesuaian RKUHP kepada elemen-elemen publik.
Guru Besar Universitas Negeri Semarang (Unnes), Benny Riyanto menambahkan bahwa saat ini KUHP sudah berusia lebih dari 100 tahun. Karena itu, RKUHP menjadi momentum melakukan pembaruan hukum pidana. Ia berharap pada masa sidang terakhir DPR tahun ini, RKUHP dapat disahkan menjadi undang-undang.
Wakil Menteri Kemenkumham, Eddy Omar Sharif Hiariej menyatakan tentang pentingnya pengintegrasian hukum pidana yang semakin berkembang ke dalam sistem hukum pidana Indonesia. Perlu dilakukan upaya rekodifikasi yang mencakup konsolidasi dan sinkronisasi peraturan hukum pidana baik vertikal maupun horizontal ke dalam suatu kitab undang-undang yang sistematis. Upaya rekodifikasi ini juga ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan yang muncul karena ketidakjelasan pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie.
Eddy menambahkan bahwa selain sebagai upaya rekodifikasi, pembaruan KUHP Nasional juga diarahkan sebagai upaya harmonisasi, yaitu dengan menyesuaikan KUHP terhadap perkembangan hukum pidana yang bersifat universal dan upaya modernisasi, yaitu dengan mengubah filosofi pembalasan klasik (Daad–Strafrecht), yang berorientasi kepada perbuatan semata-mata, menjadi filosofi integratif (Daad–Daderstrafrecht–Slachtoffer) yang memperhatikan aspek perbuatan, pelaku, dan korban kejahatan.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute
(DJA/AA)