Suarapapuanews, Jakarta– Menteri Keuangan dan Menteri Pertanian negara anggota G20 menyatakan siap melakukan mitigasi risiko atas kerawanan pangan global melalui Presidensi G20 Indonesia 2022. Pada pertemuan G20 Joint Finance and Agriculture Ministers Meeting (JFAMM) di Washington DC, Amerika Serikat Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyediakan komitmen sebagai fondasi yang penting untuk penguatan koordinasi dan menjawab tantangan dalam masalah ketahanan pangan, termasuk Indonesia yang dengan tegas akan menggunakan semua perangkat kebijakan (policy tools) yang tepat dalam mengatasi tantangan ekonomi dan keuangan termasuk risiko kerawanan pangan.
Seperti yang sudah diketahui bahwa kondisi kelangkaan pangan ini dialami sebagian besar negara didunia yang disebabkan oleh dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, Pandemi Covid19, dan konflik sosial termasuk akibat dari invasi Rusia-Ukraina. Krisis pangan ini berpotensi mengganggu stabilitas suatu negara. Dampak kelangkaan pangan yang dirasakan langsung yaitu kelaparan, meningkatnya angka kemiskinan, dan kurangnya gizi pada generasi muda sehingga tidak dapat tumbuh dengan optimal.
Bukan hanya sebagai komoditi ekonomi, pangan merupakan komoditi yang memiliki fungsi sosial dan politik baik nasional maupun global. Untuk itulah ketahanan pangan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap keberlangsungan suatu negara.
Saat ini, sudah ada 22 negara yang menghentikan ekspor berbagai jenis pangan untuk mengamankan kebutuhan domestik di tengah ketegangan geopolitik dunia. Di tahun 2022, kenaikan harga pangan secara keseluruhan meningkat sekitar 33%. Kondisi ini mempengaruhi pola perdagangan dunia, stabilitas harga pangan dan pasokan pangan global termasuk Indonesia. Terlebih banyak pelaku usaha khususnya UMKM di Indonesia yang menjadikan bahan pangan sebagai bahan baku produksi.
Melalui pertemuan JFAMM, negara anggota G20 siap mengambil tindakan kolektif yang cepat memperkuat ketahanan pangan dan gizi dengan melakukan kolaborasi antar negara dalam mitigasi risiko atas krisis pangan global. Negara anggota G20 juga mendukung adanya peningkatan koordinasi untuk memastikan respon global yang selaras dalam menghadapi kerawanan pangan, serta setuju untuk mendelegasikan tugas kepada Food and Agriculture Organization (FAO) dan Bank Dunia dalam pemetaan respons kebijakan global terhadap kerawanan pangan.
Bank Dunia telah berkomitmen untuk menyediakan 30 juta dolar AS dalam pendanaan proyek terkait ketahanan pangan dan nutrisi untuk beberapa tahun ke depan. FAO pun turut menyediakan perkembangan kondisi pasar pangan agar tercapainya efisiensi. Pemerintah Indonesia juga berupaya mempertahankan ketersediaan rantai pasokan pangan melalui dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan nilai pagu indikatif Kementan pada tahun 2023 dialokasikan sebesar Rp6,76 Triliun untuk Program Ketersediaan, Akses, dan Konsumsi Pangan Berkualitas dan Rp1,78 Triliun untuk Program Nilai Tambah dan Daya Saing Industri. Nilai pagu indikatif tersebut akan diarahkan untuk mencapai target prioritas pembangunan nasional dibidang ketahanan pangan.
Menteri Pertanian RI, Syahrul Yasin Limpo mengajak seluruh negara anggota G20 untuk membangun kolaborasi aktif dalam mitigasi pangan global yang saat ini banyak mengancam negara-negara di dunia. Dalam pertemuan tersebut, Syahrul Yasin Limpo menyampaikan 3 isu utama yang harus diprioritaskan saat ini yaitu mempromosikan sistem pertanian dan pangan yang tangguh dan berkelanjutan, mempromosikan perdagangan pertanian yang terbuka, adil dan transparan, serta mempromosikan kewirausahaan di sector pertanian yang inovatif bagi pertanian digital. Hal ini sebagai bagian upaya untuk meningkatkan kehidupan petani di pedesaan.
Ketiga isu tersebut saling berkaitan satu dengan yang lainnya sehingga menjadi perhatian utama bagi seluruh negara di dunia untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di sektor pertanian dan memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan merata bagi semua. Pada intinya krisis pangan pada tahun 2023 mendatang harus terantisipasi dengan baik dengan cara membuka jalur kerjasama yang kuat antar negara agar dapat terbebas dari tekanan krisis pangan global.
Lanjutnya, pasokan pangan merupakan kebutuhan bersama yang tidak boleh dibatasi oleh kepentingan apapun karena berhubungan erat dengan kemanusiaan (human rights) dan ketersediaan distribusi akses serta keterjangkauan pangan penanganannya harus bersama-sama. Syahrul Yasin Limpo juga menilai bahwa pertemuan JFAMM ini sangat penting dilakukan karena membahas kesiapan negara dalam mengantisipasi dan menghadapi krisis pangan dunia dengan menerapkan beberapa strategi yang dianggap efektif dalam meningkatkan kapasitas produksi utama komoditas pangan yang berdampak pada inflasi guna menstabilkan harga pangan, menekan inflasi, menurunkan importasi, dan meningkatkan ekspor pangan.
Strategi ini diterapkan pada beberapa komoditas pangan strategis untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam sistem agribisnis pangan agar tercapainya efisiensi dan adanya peningkatan daya saing.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati ikut mendukung upaya Syahrul Yasin Limpo dalam memperkuat keamanan pangan dan meningkatkan skala produksi nasional. Menurutnya, pangan merupakan sektor penting yang tidak boleh dipisahkan karena berbagai ancaman krisis dunia. Tiap negara juga harus selalu bersiap diri untuk terus menyediakan pangan dan gizi bagi semua orang dan memastikan ketahanan pangan secara berkeadilan.
Berbagai solusi dan inisiatif dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan global yang dihasilkan dari Presidensi G20 Indonesia 2022 akan terus dijalankan hingga Presidensi G20 selanjutnya pada 2023 di bawa kepemimpinan India.
)* Penulis merupaka Pengamat Pertanian dari Universitas Gadjah Mada
(SA/AA)