Suarapapuanews, Jakarta– Kasus korupsi Lukas Enembe masih berlarut-larut karena ia menolak secara keras panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan alasan sakit jantung dan stroke. Ketegasan wajib dilakukan agar polemik terhadap kasus ini lekas selesai, jika perlu ada penjemputan paksa ke Papua. Masyarakat juga diminta untuk tenang, bukannya justru membela gubernur mereka yang sudah jelas bersalah.
Masyarakat Papua terguncang ketika mendengar kabar bahwa Gubernur mereka, Lukas Enembe, ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan gratifikasi oleh KPK. Lukas terbukti mencuri uang negara senilai lebih dari 1 triliun rupiah. Ia juga terindikasi mengambil dana otonomi khusus dan uang untuk gelaran PON XX Papua, selama menjabat. Masyarakat juga geram karena ia terbukti berjudi di sebuah kasino di luar negeri.
Namun saat ini Lukas Enembe belum datang untuk memenuhi panggilan KPK. Diwakilkan oleh pengacaranya, Stevanus Roy, Lukas mengaku sakit jantung dan stroke. Sangat berbahaya jika ia diterbangkan ke Jakarta guna pemeriksaan. Surat keterangan dokter juga dilayangkan sebagai bukti kondisi kesehatannya.
Kasus korupsi Lukas Enembe bisa panjang ceritanya karena ia menolak untuk diperiksa, dan diduga pura-pura sakit. Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko sangat geram akan tingkah Lukas Enembe. Bahkan ia mengancam apa perlu dikerahkan anggota TNI untuk melakukan penjemputan terhadap sang gubernur.
Pernyataan Moeldoko amat wajar karena selama ini yang muncul ke publik adalah tim kuasa hukumnya. Lukas seakan takut akan pertanyaan-pertanyaan dari para penyidik KPK, dan memilih untuk sembunyi di rumahnya di kawasan Koya Tengah, Muara Tangi, Jayapura. ia sangat geram karena seharusnya Lukas sebagai pejabat publik, menaati proses hukum yang sedang berlaku.
Seharusnya untuk mengatasi kasus Lukas Enembe, perlu ketegasan lebih lanjut, agar ia tidak mengabaikan panggilan KPK. Sesuai peraturan, ketika seseorang tidak memenuhi panggilan lembaga tersebut sampai 2 kali, maka ia akan dijemput paksa. Jika benar-benar ada pengerahan aparat seperti yang dikatakan oleh Moeldoko, maka tidak boleh ada yang menghalanginya, karena hal tersebut sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.
Ketegasan memang harus dilakukan, karena jika tidak Lukas akan terus bersembunyi entah sampai kapan. Sebagai pejabat dan laki-laki sejati, seharusnya ia bertindak jantan dan datang ke Jakarta. Bukannya pura-pura sakit sampai diancam akan dijemput dengan menerjunkan pasukan aparat keamanan.
Lucunya, sang pengacara malah meminta izin agar Lukas diperbolehkan untuk berobat ke Singapura, padahal letaknya lebih jauh daripada ke Jakarta. Kasus ini tak boleh berlarut-larut agar tidak ada alasan dibuat-buat seperti ini.
Sementara itu, Jack Puraro, tokoh pemuda Papua, menyatakan bahwa warga jangan menghalangi petugas KPK untuk memeriksa Lukas Enembe. Ia harus menghormati proses hukum dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kalaupun benar-benar sakit maka semoga segera disembuhkan. Papua adalah tempat yang aman bagi semua orang, dalam artian tidak ada rasisme dan perbedaan perlakuan bagi warga di Bumi Cendrawasih.
Ketika ada tokoh pemuda yang ingin agar Lukas Enembe bertanggung jawab, maka ia jangan selalu beralasan sakit, padahal para tersangka kasus korupsi selalu beralasan seperti itu. Itu hanya akal bulus agar mendapatkan simpati masyarakat dan dispensasi dari KPK. Logikanya, jika ia kena stroke maka akan susah bergerak bahkan berbicara, tetapi mengapa masih bisa berkomunikasi dengan para pengacaranya?
Himbauan agar masyarakat tidak melindungi Lukas sangat wajar karena saat ini, ratusan warga berjaga di sekitar rumahnya. Bahkan di antara mereka ada yang membawa senjata tradisional dan jelas-jelas akan melawan jika ada pihak berwajib yang akan menjemput Lukas dan membawanya ke Jakarta. Jangan sampai cinta buta terhadap Lukas membuat mereka menghalangi kerja aparat dan petugas KPK.
Masyarakat jangan termakan oleh propaganda yang sengaja dibuat oleh tim kuasa hukum Lukas Enembe, di mana ia seakan-akan dituduh korupsi karena dijegal oleh lawan politiknya. Padahal kasus ini murni korupsi, dan sudah pula ditegaskan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD bahwa Lukas murni berkasus korupsi. Alangkah sedihnya ketika ada warga yang melawan aparat padahal mereka hanya menjalankan tugasnya.
Ketegasan dalam penyelesaian kasus Lukas Enembe harus dilakukan sesegera mungkin agar ada tindakan selanjutnya, yakni pemeriksaan dan pengusutan rekening-rekening di luar negeri, lalu pemindahan ke lembaga pemasyarakatan. Jika Lukas mengelak korupsi dan merasa tidak bersalah, maka seharusnya ia tidak takut akan KPK. Namun yang terjadi sebaliknya, dan melah menunjukkan bahwa ia benar-benar korupsi.
Jangan sampai nama baik Papua tercoreng oleh ulah Lukas Enembe. Sebagai gubernur seharusnya ia memberi teladan kepada rakyatnya. Namun sayangnya ia malah memberi contoh jelek dengan melakukan korupsi dan gratifikasi. Kasus Lukas harus diselesaikan secepatnya dan ada tindakan tegas agar ia datang ke KPK dan mempertanggungjawabkan kesalahannya.
)* Penulis adalah mahasiswa Papua tinggal di Yogyakarta
(SK/AA)