Suarapapuanews, Jakarta– Indonesia sudah lama mengunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan produk kolonial, dan KUHP ini masih berlaku di Indonesia telah usang, dan di Belanda juga sudah tidak menggunakannya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengatakan bahwa hukum harus memuat isi yang sesuai dengan kehidupan masyarakat. Jika masyarakat berubah, hukum juga harus berubah sesuai dengan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat.
Mahfud mengatakan bahwa masyarakat Indonesia saat ini sudah berubah dari masyarakat kolonial menjadi masyarakat nasional, dan dari masyarakat terjajah menjadi bangsa merdeka. Oleh karena itu, hukum kolonial harus diganti dengan hukum nasional. Itulah sebabnya politik hukum tentang perubahan KUHP menjadi salah satu perintah utama yang ditulis di dalam UUD 1945.
Mahfud menjelaskan, Indonesia sudah 77 tahun merdeka dan terus berusaha dalam membuat hukum pidana nasional dalam bentuk kitab undang-undang tersendiri. Sejak 1963, pemerintah telah mendiskusikan perubahan KUHP. Mahfud bersyukur saat ini telah menghasilkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP yang siap untuk diundangkan.
Mahfud menuturkan bahwa saat ini pembahasan RKUHP sudah hampir final dan masuk pada tahap-tahap akhir pembahasan. Menurutnya, RKUHP ini mencakup lebih dari 700 pasal yang di antaranya terdapat 14 masalah yang masih perlu diperjelas dan didiskusikan.
Terhadap 14 masalah yang sekarang sedang menjadi diskusi itu, akan dilakukan diskusi-diskusi secara lebih terbuka dan lebih proaktif melalui dua jalur. Pertama, akan terus dibahas di DPR untuk menyelesaikan 14 masalah ini, kemudian yang kedua terus melakukan sosialisasi dan diskusi ke simpul-simpul masyarakat.
Sesuai dengan arahan Presiden yang menaruh perhatian besar terhadap masalah ini, pemerintah akan mengagendakan penyelenggaraan diskusi-diskusi untuk menyerap ususl dari masyarakat. Nantinya diskusi tersebut akan diselenggarakan dan difasilitasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemen Kominfo), sementara untuk materinya akan disiapkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Kepala Biro Hukum Kementerian Komunikasi dan Informatika, Bertiana Sari, menuturkan bahwa pada 2019, telah dihasilkan kurang lebih 6 ribu daftar inventarisasi masalah pada RKUHP dengan memperhatikan masukan lebih dari 22 lembaga swadaya masyarakat. Namun pada sepetember 2019, RKUHP ditarik lagi oleh presiden Joko Widodo karena terdapat penolakan dari masyarakat terhadap beberapa isu.
Bertiana juga menyampaikan ada 14 isu krusial yang menjadi kontroversi dalam RKUHP. Antara lain mengenai living law yang terdapat pada pasal 2 dan pasal 601 RKUHP, juga terkait dengan pidana mati yang diatur dalam Pasal 67 dan pasal 100 RKUHP, dan terkit penghinaan terhadap presiden diatur dalam pasal 18 RKUHP.
Saat ini terdapat isu krusial yang sudah dihapuskan dari 14 isu tersebut, sehingga tersisa 12 isu krusial yang masih dalam pembicaraan. Bagaimanapun juga, hukum merupakan cermin kesadaran hidup bermasyarakat, sehingga hukum yang akan diberlakukan itu juga harus mendapat pemahaman dan persetujuan dari masyarakat, itulah hakikat demokrasi dalam konteks pemberlakuan hukum.
Beberapa orang menganggap bahwa RUKUHP bertujuan untuk menghidupkan kembali kolonialisasi, tapi nyatanya tidak ada kajian khusus yang benar-benar spesifik mengurai apa saja yang disebut sebagai warisan nilai-budaya kebarat-baratan, khususnya dalam hukum di Indonesia.
Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP), Benny Rianto mengungkapkan, RKUHP perlu segera disahkan untuk mengikuti pergeseran paradigma hukum pidana. Yakni dari paradigma keadilan retributif (balas dendam dengan penghukuman badan) menjadi paradigma keadilan yang mencakup prinsip-prinsip keadilan korektif (bagi pelaku), restoratif (bagi korban) dan rehabilitatif (bagi keduanya).
Benny juga mengungkapkan, adanya protes terhadap RUU KUHP diprakarsai oleh minimnya keterlibatan partisipasi publik dan beberapa pasal yang kontroversial. Untuk itu, pemerintah sudah banyak melaksanakan sosialisasi ke berbagai ibu kota provinsi melalui diskusi dan seminar. Benny juga mengatakan beberapa rumusan norma dalam RUU KUHP juga mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil.
Pada kesempatan berbeda, Kepala BIN Budi Gunawan menyebutkan bahwa KUHP yang digunakan Indonesia saat ini merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda. Menurutnya, KUHP Peninggalan zaman kolonial Belanda yang masih dipakai sampai saat ini, secara politik hukum belum mencerminkan nilai-nilai budaya bangsa apalagi nilai-nilai dasar Falsafah Negara yaitu Pancasila. Oleh karenanya, semua produk hukum kolonial perlu segera diganti dengan produk hukum nasional.
Seiring berkembangnya zaman, RKUHP terus berkembang agar dapat untuk diundangkan segera. Tentu saja undang-undang yang sudah usang bisa diganti dengan rancangan RKUHP yang baru.
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini
(AD/AA)