Jakarta, suarapapuanews– Pemerintah telah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10 % menjadi 11%. Kenaikan PPN ini bertujuan untuk menguatkan ekonomi Indonesia sekaligus mengurangi kesenjangan ekonomi masyarakat.
Pajak adalah cara masyarakat untuk berkontribusi pada negara, karena dari pajak hasilnya dikumpulkan dan digunakan untuk pembangunan. Ada berbagai pajak di negeri ini seperti pajak barang mewah, pajak pertambahan nilai, dan lain-lain. Para pedagang menempel harga jual suatu barang setelah dikenai pajak pertambahan nilai (PPN).
Mulai 1 April 2022 PPN dinaikkan jadi 11%. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Edy Priyono menyatakan, “Kenaikan PPN ditujukan agar hasil pembayaran pajak termasuk PPN diredistribusikan kepada kelompok masyarakat yang kurang mampu dalam bentuk bantuan sosial. Jadi dalam hal ini, peran instrumen pajak adalah untuk mendistribusikan kekayaan dan mengurangi ketimpangan.”
Dalam artian, kenaikan PPN adalah untuk azas keadilan. Naiknya pajak tidak akan dimakan semua karena akan dikembalikan lagi ke rakyat dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Jadi, mereka yang benar-benar kurang mampu masih akan mendapat Bansos dan sumbernya adalah dari pajak yang dipungut ke kalangan masyarakat lain yang jauh lebih mampu.
Bansos masih diberikan untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Nantinya uang BLT akan diberikan kepada mereka yang masih berada di bawah garis kemiskinan sehingga bisa bertahan hidup saat pandemi. Sumber Bansos adalah dari hasil kenaikan PPN, sehingga ketika bayar suatu barang yang pajaknya naik kita harus mampu bijak, karena ingat bahwa 1%-nya adalah untuk mereka yang benar-benar membutuhkan.
Masyarakat dinilai untuk mampu untuk membayar kenaikan pajak pertambahan nilai. Lagipula naiknya Cuma sedikit, hanya 1 persen. Angka itu tidak ada apa-apanya karena jika diterapkan memang ada kenaikan harga di toko-toko tetapi hanya sedikit. Kenaikan ini tidak membuat kita langsung jatuh miskin. Tetaplah tenang karena kita pasti mampu untuk membayar.
Pemerintah sudah mempertimbangkan masak-masak sebelum menaikkan pajak, termasuk PPN. Apalagi saat ini masih pandemi yang sedikit banyak berpengaruh terhadap perekonomian. Kenaikan nilai pajak tidak bisa dilakukan serta-merta tanpa melalui pertimbangan penting, karena tujuannya adalah pemerataan.
Masyarakat mengerti karena memang saat pandemi semuanya berubah, dan kenaikan PPN adalah demi kestabilan ekonomi negara. Daripada tidak ada kenaikan pajak dan masih ada Bansos untuk orang miskin tetapi sumbernya dari hutang. Akan lebih mengerikan lagi karena menambah hutang negara yang juga memiliki bunga. Sehingga lebih baik menambah pajak sedikit demi kestabilan finansial negara.
Edy menambahkan, “Sebenarnya bisa saja pemerintah menaikkan PPN 5% sehingga totalnya jadi 15%. Namun dengan pertimbangan kondisi saat ini, penyesuaian tarif PPN diputuskan hanya 1 persen.” Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah masih berbaik hati untuk menaikkan hanya sedikit karena mempertimbangkan kondisi dompet masyarakat.
Setelah dua tahun pandemi Covid-19 ternyata kestabilan finansial rakyat makin membaik. Buktinya makin banyak orang kaya yang memborong tas kulit hingga mobil mewah. Saat jelang ramadhan, antrian masyarakat yang belanja di pasar maupun supermarket juga makin panjang. Sehingga jika ada kenaikan pajak tentu tidak akan berpengaruh terhadap kondisi keuangan mereka.
Kenaikan PPN tidak usah dipandang negatif karena pertama, naiknya hanya 1% dan itu relatif sedikit. Kedua, hasil dari pajak akan dikembalikan lagi ke masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk bantuan langsung tunai. Sehingga mereka bisa menikmati Bansos untuk di masa pandemi.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi institute
(SH/AA)