Jurnalredaksi, Jakarta– Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan hasil dari diskusi publik yang dilaksanakan pemerintah di 12 kota untuk mendapatkan masyarakat. RKUHP juga telah melewati serangkaian langkah yang diharapkan bisa menjadi produk hukum yang lebih berkeadilan dan lebih komprehensif.
Pada periode 2014-2019, RUU KUHP merupakan usul inisiatif DPR dan sudah dibawa dalam pengambilan keputusan Tingkat I di Komisi III DPR RI. Saat ini komisi III DPR menyepakati RUU KUHP dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI atau pengambilan keputusan Tingkat II agar disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang.
Namun saat itu, proses pengambilan keputusan di Tingkat II tidak jadi dilaksanakan karena adanya gelombang penolakan dari berbagai elemen masyarakat dan mahasiswa yang menolak pengesahan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.
Akhirnya DPR memutuskan menunda pengambilan keputusan RUU KUHP dan diputuskanlah menjadi RUU “carry orver” sehingga bisa dilanjutkan prosesnya pada periode 2019-2024.
Di periode 2019-2024, RUU KUHP masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022 namun menjadi usul inisiatif pemerintah, bukan lagi usulan DPR seperti periode lalu.
Didik Mukrianto selaku Anggota Komisi III DPR RI menjelaskan bahwa secara substansi RUU KUHP sudah dibahas secara tuntas dan berdasarkan keputusan DPR periode 2014-2019, pemerintah diminta untuk menyosialisasikan kembali kepada masyarakat terkait RUU tersebut.
Langkah tersebut bertujuan agar masyarakat menjadi paham akan substansi perubahan yang telah disetujui oleh pemerintah dan DPR. Selain itu, langkah sosialisasi tersebut bertujuan agar tidak menimbulkan polemik yang berujung pada penolakan publik terhadap RUU tersebut.
Diketahui publik juga sempat mempertanyakan terkait dengan transparansi proses pembahasan RUU KUHP setelah menjadi RUU “carry over” karena draf RUU dari pemerintah hasil penyempurnaan belum beredar diungkap ke publik.
Hal tersebut dibantah oleh DPR RI, karena RUU tersebut merupakan usul inisiatif pemerintah sehingga draf hasil penyempurnaan berasal dari pemerintah.
Dalam rapat kerja komisi III DPR RI dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) beberapa waktu lalu, Wakil Menteri Hukum dan Ham RI Edward Omar Sharif Hiariej mewakili Kemenkumham dalama menyerahkan penjelasan 14 poin krusial sebagai bagian daripada penyempurnaan dari RUU KUHP.
Penyempurnaan RUU tersebut merupakan hasil sosoalisasi dan diskusi publik yang dilaksanakan pemerintah di 12 kota untuk mendapatkan masukan dari masyarakat terkait RUU KUHP.
Selain kemerdekaan pers dan penyerangana terhadap harkat-martabat presiden dan wakil presiden, ada beberapa poin-pon krusial lain dalam RUU KUHP yang masih menjadi polemik di masyarakat sehingga butuh penjelasan dan sosialisasi lebih dalam dari pemerintah dan DPR.
Eddy O.S Hiariej selaku Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) sempat menjelaskan terdapat 14 poin krusial dalam RUU KUHP. Ke-14 poin krusial dalam RKUHP adalah ; pertama, hukum yang hidup dalam masyarakat atau ‘the living law”; kedua pidana mati; ketiga. Penyerangan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden; keempat, tindak pidana karena memiliki kekuatan ghaib.
Kelima, dokter atau dokter gigi yang melaksanakan pekerjaannya tanpa izin; keenam unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih; ketujuh, ‘contempt of court’ berkaitan dengan dipublikasikan secara langsung tidak diperkenankan.
Kedelapan, advokat curang dapat berpotensi bias terhadp salah satu profesi penegak hukum saja yang diatur (diusulkan untuk dihapus); kesembilan, penodaan agama; kesepuluh penganiayaan hewan. Kesebelas, penggelandangan; keduabelas, pengguguran kehamilan atau aborsi; ketigabelas, perzinahan, dan keempatbelas kohabitasi dan pemerkosaan.
Terkait kekhawatiran terhadap ancaman kemerdekaan pers dalam RUU KUHP, Ketua Komisi Pendataan, Kajian dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, ada sembilan pasal dalam RKUHP yang berpotensi memberangus kebebasan pers sebagaimana yang dimandatkan dalam UU pers dan Pasal 27 Undang undang dasar 1945.
RKUHP sendiri justru melindungi kebebasan pers namun penyalahgunaan kebebasan itu akan diatur hukumannya untuk memberikan efek jera. Karena itu, kalangan arus pers yang harus berupaya menyampaikan informasi yang dibastikan sumber beritanya yaitu dari pihak yang berwenang.
Sementara itu, Beberapa orang menganggap bahwa RKUHP bertujuan untuk menghidupkan kembali kolonialisasi, tapi nyatanya tidak ada kajian khusus yang benar-benar spesifik mengurai apa saja yang disebut sebagai warisan nilai-budaya kebarat-barata, khususnya dalam hukum di Indonesia.
Di sisi lain, apa yang disebut sebagai nilai-budaya kebarat-baratan itu sendiri juga memang tidak jelas, tidak ada indikator yang jelas pula dengan apa yang disebut sebagai kebarat-baratan dan mengapa hal yag berbau kebarat-baratan tersebut dianggap lebih buruk dan hina dengan yang berbau keindonesiaan.
RKUHP menghadirkan produk hukum yang komprehensif. Aturan dalam regulasi juga telah melibatkan diskusi dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Institute
(AS/AA)