Suarapapuanews, Jakarta– Guru Mugeni berdiam di Kuningan. Kuningan merujuk pada nama seorang ulama Betawi Tumenggung Imam Kuningan abad 17/18, bukan nama tempat di Jawa Barat.
Pada tahun 1930 Guru Mugeni hendak bangun mesjid di Kampung Kuningan. Ditolak Belanda karena jaraknya terlalu dekat dengan Tegal Parang. Warung Buncit, dimana disitu sudah ada mesjid. Guru Mugeni menolak alasan Belanda, dan tetap membangun mesjid. Belanda akhirnya berhenti menghalangi dan mesjid itu sampai sekarang masih ada.
Jago pola ulama itu ditunjukan dengan cara perlawanan terhadap kezaliman. Syekh Djunaid al Batawi pada 1894 menolak kunjungan Snouck Hurgronje di kediamannya di Mekah. Guru Mansur pada 1946 menolak permintaan Belanda agar merah putih yang berkibar di menara mesjid dekat rumahnya diturunkan. Syekh Amarullah, ayah Buya Hamka, menolak seikere di jaman Jepang dengan risiko beliau dibuang ke Sukabumi.
Mungkin tak paham sejarah, ada orang yang memuji Jampang yang disebutnya jago Betawi. Majalah Sin Po 1918 memuat laporan lengkap dihukum-matinya Jampang di depan kantor polisi Serpong. Kesalahan dia berbuat tak pantas dengan istri2 orang. Suaminya marah dibacok bahkan ada yang dibunuh. Ada juga rampok kebagian di-jago2kan padahal yang bersangkutan diakhiri kezalimannya dengan ditembak mati oleh Letnan Suhanda dari Siliwangi pada 1949, tatkala yang bersangkutan lagi asyik buang hajat di pinggir kali.
Ketika pada suatu hari di tahun 2000 di Jordania saya bertemu tokoh Intifada Dr Walid, saya bercerita pada beliau bahwa pelajar2 Indonesia di Timur Tengah pada tahun 1931 ikut berperang di sisi Palestina melawan Israel. 4 tewas, tapi saya tak ingat semua nama2nya. Spontan Dr Walid menyebut nama keempat mujahid itu.
Bagaimana anda begitu hafal, saya cuma ingat Ibrahim dan Sapulete. Aku merespon.
Diajarkan di sekolah, kata Dr Walid.
Aku tercenung, kok aku tak bersekolah di Palestina?
(RS/AA)