Suarapapuanews, Jakarta– Radikalisme dan ekstremisme menjadi pintu gerbang dari terorisme yang akhibatnya membawa kehancuran bagi bangsa dan negara. Karena itu, Masyarakat Indonesia harus bersatu melawan radikalisme dan ektremisme sebagai cara untuk menjaga kedamaian dan keaman Bangsa Indonesia.
Radikalisme merupakan sebuah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan. Paham ini juga mengacu pada sikap ekstrem dalam aliran politik. Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk menjelaskan bahwa konservatisme, fundamentalisme, ketertutupan pikiran, dan intolerasnsi dapat menjadi bibit-bibit radikalisme bagi individu.
Sementara itu, ekstremisme mempunyai pengertian berupa sebuah tindakan ekstrem berdasarkan pandangan agama, politik, dan sebagainya. Ideologi ini dianggap berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya. Ektremisme kerap kali disamakan dengan radikalisme, padahal keduanya adalah hal yang berbeda.
Radikalisme dan ekstremisme adalah paham yang menjadi krisis di kehidupan sosial saat ini. Oleh sebab itu, Young Buddhist Association Indonesia, mengajak generasi muda melawan radikalisme dan ektremisme lewat forum dialog lintas agama dan etnis yang digelar secara daring di Surabaya, pada Minggu 07 Agustus 2022 yang lalu.
Acara tersebut dihadiri pembicara yang berasal dari Indonesia dan Malaysia. Billy Lukito Joeswanto selaku Koordinator Acara ini mengatakan acara ini digelar dalam rangka bertukar pikiran antara Muslim dan Buddhis mengenai dua paham radikalisme dan ektremisme yang menjadi krisis di kehidupan sosial saat ini. Apabila banyak pihak yang acuh tak acuh dalam menghadapi krisis ini, maka oknum ekstrem yang akan memenangkan dan dapat menjadi sosok yang berpengaruh kuat di tengah masyarakat.
Sebagai informasi, acara ini dihadiri beberapa tokoh yang cukup berpengaruh di bidangnya masing-masing. Tokoh yang hadir seperti aktivis kemanusiaan Wawan Gunawan, Bhiksu Bhante Dhirapunno, General Secretary Young Buddhist Association of Malaysia Eow Shiang Yen, dan Founder and Director Komuniti Muslim Universal (KMU) Aizat Shamsuddin.
Wawan Gunawan yang bertindak sebagai pembicara dalam forum itu mengatakan bahwa radikalisme merupakan gejala yang terjadi di beberapa kehidupan, baik individu, sosial, politik, serta dari sisi keagamaan. Wawan menambahkan bahwa melihat keadaan media sosial pada masa kini maka sangat dibutuhkan filter agar radikalisme tidak menyebar dengan mudah. Kebijakan pemerintah dalam bidang agama memiliki peran yang penting untuk mewujudkan masyarakat yang toleran dan dapat menghadapi radikalisme.
Pembicara lain, Aizat Shamsuddin selaku Founder dan Director KMU Malaysia mengutarakan ideologi ekstremisme berperan dalam radikalisasi masyarakat. Kelompok ektremisme kerap kali menggunakan media sosial untuk menyebarkan kebencian dan kekerasan pada masyarakat luas. Dirinya melanjutkan bahwa kita sebagai bangsa serumpun membutuhkan pertukaran budaya untuk mempererat hubungan dan pertukaran ilmu dalam berbagai aspek. Indonesia dan Malaysia seyogyanya bisa saling belajar bersama untuk menangkal bahaya radikalisme dan ekstremisme.
Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Bambang Soesatyo yang akan merilis buah pikirannya dalam buku berjudul Melawan Radikalisme dan Demoralisasi Bangsa menerangkan bahwa dalam melawan radikalisme, terorisme hingga demoralisasi bangsa dengan berbagai bentuk lainnya tidak cukup dengan hanya melalui penegakan hukum.
Pria yang lebih akrab dengan panggilan Bamsoet ini menjabarkan bahwa dibutuhkan upaya lain berupa strategi cegah dan tangkal melalui vaksinasi ideologi. Salah satunya menggunakan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI ke beberapa kalangan masyarakat guna memperkuat ideologi setiap anak bangsa. Sosialisasi Empat Pilar MPR RI pada hakikatnya adalah mengamalkan nilai-nilai dalam Pancasila, menjadikan UUD NKRI 1945 sebagai pedoman, mempertahankan eksistensi NKRI serta menjaga kesatuan serta persatuan dengan menerima dan merawat kebhinekaan.
Radikalisasi dan ektremisasi bukanlah produk dari keputusan yang singkat, tetapi hasil dari sebuah proses yang sangat panjang. Begitulah tanggapan dari Ali Fauzi Manzi, yang merupakan sosok yang pernah terlibat dalam peristiwa Bom Bali tahun 2002 silam. Ali yang saat ini sudah terasimilasi sepenuhnya menjadi bagian dari Indonesia, mengungkapkan pada dasarnya komunitas teroris itu menyediakan dua support kepada para anggotanya. Pertama adalah support moral, hal ini dapat terbentuk melalui pemberian pemahaman radikal kepada para anggotanya dengan pengajian, idad, rihlah, mukhoyamah, dan sebagainya. Keduanya dengan support material seperti halnya bantuan pendidikan, lapangan pekerjaan, bantuan kesehatan, dan lain-lain.
Kedua support ini mengikat para anggotanya sehingga nyaman dan pada akhirnya sulit untuk keluar. Bila anggota keluar dari komunitas itu, maka mereka tidak akan punya teman, dikucilkan, dimusuhi, bahkan akan diancam pembunuhan. Oleh sebab itu, sangat penting untuk membentuk sebuah komunitas baru yang memberikan support serupa, namun untuk kegiatan dan tujuan yang positif, seperti komunitas yang menjunjung tinggi cinta tanah air, cinta perdamaian, toleransi, serta kampanye menjunjung tinggi Islam yang ramah, bukan marah, dan Islam yang damai.
Radikalisme dan ekstremisme adalah penyakit yang secara tidak langsung akan menggerogoti persatuan Bangsa Indonesia dari dalam. Sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, kita harus Bersatu menjaga toleransi di tengah keberagaman masyarakat, meningkatkan moderasi dalam beragama serta bersyukur atas anugerah kebhinekaan di Indonesia adalah cara tepat untuk melawan penyakit tersebut. Semoga kita sebagai Bangsa Indonesia senantiasa diberikan kekuatan, bimbingan, dan perlindungan dari Yang Maha Kuasa untuk selalu menjaga kerukunan dan keutuhan Indonesia dari radikalisme dan ektremisme.
)* Penulis adalah Kontributor untuk Pertiwi Institute
(BA/AA)