Oleh: Haris Victor *)
Masyarakat diminta untuk selalu mewaspadai politisasi isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang sering diputarbalikan Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua. Faktanya kelompok tersebut merupakan gerombolan keji yang selalu menghalalkan segala cara dan tidak segan untuk membunuh Orang Asli Papua (OAP) maupun aparat keamanan.
KST merupakan gerombolan bengis yang tega melukai siapapun. Diketahui KST, Papua kembali melancarkan aksinya dengan menyerang Pos TNI di Distrik Gome, Kabupaten Puncak, Papua pada Sabtu (25/3/2024) yang mengakibatkan 3 prajurit gugur. Aksi brutal ini merupakan bukti nyata bahwa KST masih terus berusaha mengganggu keamanan dan stabilitas di Papua.
KST kerap kali mencitrakan diri sebagai korban pelanggaran HAM oleh aparat keamanan Indonesia. Mereka menyebarkan narasi dan propaganda yang menyesatkan melalui media sosial dan jaringan internasional untuk mendapatkan dukungan dan legitimasi atas perjuangan mereka. Padahal KST sendiri yang melakukan pelanggaran HAM. Mereka telah melakukan berbagai pelanggaran HAM berat terhadap masyarakat sipil di Papua, termasuk pembunuhan, mutilasi, dan penculikan.
Tak hanya itu, KST juga sering menggunakan anak-anak di bawah umur sebagai pasukan dan tameng pelindung dalam aksi-aksi mereka. Dalam salah satu video yang diunggah oleh KST di media sosial, mereka menampilkan anak-anak yang tampaknya berusia di bawah 18 tahun, duduk sambil memegang senjata api laras panjang sambil ditemani seorang pria dewasa yang diduga merupakan anggota KST.
Reaksi atas aksi ini pun datang dari berbagai pihak. Tokoh Papua, Yonas Alfons Nusy mengecam tindakan tersebut dengan keras. Ia menyatakan bahwa pameran tersebut menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kondisi HAM di Papua, terutama terkait dengan eksploitasi anak-anak dalam konteks konflik bersenjata. Penggunaan anak-anak di bawah umur untuk terlibat dalam perang oleh KST adalah pelanggaran serius terhadap hak-hak anak dan harus ditindaklanjuti dengan tegas sesuai hukum yang berlaku.
Penyalahgunaan anak-anak dalam konflik bersenjata adalah masalah serius yang mengancam masa depan generasi muda Papua. Selain mengakibatkan trauma yang mendalam pada anak-anak yang terlibat, praktik ini juga merusak norma-norma kemanusiaan dan hukum internasional yang mengatur perlindungan anak.
Namun demikian, di tengah upaya pemerintah untuk menyelesaikan masalah Papua secara damai dan komprehensif, KST masih terus-menerus melakukan manuver politik dengan memanfaatkan isu HAM untuk mendapatkan simpati internasional dan memecah belah bangsa.
Seperti yang terjadi baru-baru ini terkait Video penyiksaan yang diduga melibatkan sejumlah prajurit TNI terhadap seorang warga di Yakuhimo, Papua, telah banyak dipolitisasi untuk menyerang pemerintah. Dugaan penyiksaan tersebut terjadi di wilayah yang berada di bawah Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Cendrawasih, Papua. Kejadian ini kemudian diglorifikasi oleh kelompok KST yang selama ini memang ingin membangun kebencian masyarakat Papua kepada Pemerintah.
Publik pun diajak agar selalu melihat sebuah peristiwa dengan jernih dan tidak menutup mata terhadap berbagai aksi kejahatan KST terhadap Orang Asli Papua maupun Aparat Keamanan. Tidak hanya itu, peran lembaga kemanusiaan maupun pegiat HAM juga cenderung minim dan bahkan tidak optimal.
Kelompok pegiat HAM diam ketika aparat keamanan menjadi korban KST Papua, mereka diam ketika masyarakat sipil dibunuh, fasilitas umum dibakar, bahkan hoaks yang terus menerus KST gaungkan untuk menciptakan teror pun mereka diam.
Namun ketika ada sedikit saja isu bahwa pemerintah atau aparat keamanan melakukan kesalahan, seakan-akan dosa yang sangat besar telah dilakukan. Padahal isu yang baru saja viral terkait penyiksaan oknum TNI tidak seluruhnya benar. Faktanya yang diinterogasi adalah anggota KST Papua, dimana mereka telah melakukan serangkaian aksi yang tidak manusiawi.
Memang tidak dibenarkan penyiksaan dilakukan kepada siapapun, namun seharusnya publik adil dan pandai dalam menimbang setiap permasalahan. Terlebih lagi pemerintah melalui TNI telah melakukan tindakan atas kejadian itu.
Terkait hal tersebut, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen Nugraha Gumilar, menegaskan TNI bakal menjatuhkan sanksi kepada prajurit TNI yang melakukan penyiksaan terhadap warga Papua. Saat ini, TNI telah menahan 13 prajurit TNI AD yang melakukan penyiksaan terhadap Devinus Kogoya. Dia melanjutkan hukuman yang akan dijatuhkan kepada prajurit yang terlibat berbeda-beda. Sebab, tak semua oknum prajurit itu menganiaya warga Papua
Kasus penyiksaan ini memperlihatkan bahwa tantangan kemanusiaan di Papua masih sangat besar. Perlu upaya nyata dan komitmen kuat dari semua pihak untuk mengakhiri siklus kekerasan dan pelanggaran HAM di Tanah Papua. Selain menanggapi secara tegas terhadap kekerasan yang dilakukan oleh KST, pemerintah juga harus mengupayakan dialog dan penyelesaian masalah secara damai dengan memperhatikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat Papua agar manuver politik KST Papua tidak berpengaruh.
Lebih dari itu, masyarakat Indonesia secara keseluruhan harus bersatu dan menolak upaya-upaya yang mengancam persatuan dan kesatuan bangsa yang kerap dilakukan oleh KST Papua. Dengan demikian, dapat kita wujudkan Papua yang damai, sejahtera, dan terintegrasikan sepenuhnya dalam kehidupan bangsa Indonesia.
*)Penulis adalah pemerhati sosial asal Papua