Radikalisme berpotensi terus menyebar melalui berbagai cara untuk menyasar masyarakat khususnya kalangan muda. Kelompok radikal memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan pahamnya terhadap Generasi Z (Gen Z) yang saat ini tengah memanfaatkan media online dalam kesehariannya.
Medsos tidak hanya menjadi wadah dalam menjalin komunikasi, berinteraksi dan berekspresi dengan orang, tetapi juga berpotensi menjadi media penyebaran paham radikalisme maupun ujaran kebencian. Media sosial bagaikan dua sisi mata uang bagi kehidupan masyarakat. Di satu sisi, media sosial memberikan banyak manfaat, seperti memperluas wawasan, meningkatkan kreativitas, dan mempererat silaturahmi. Di sisi lain, media sosial juga bisa menimbulkan kemudaratan, seperti menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan radikalisme. Paham ini juga memperjuangkan cita-citanya untuk mengganti ideologi Pancasila dengan sistem khilafah.
Dekan FISIP UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Dr Muji Mulia mengatakan pola gerakan dan pengaruh terorisme saat ini telah merambah ke generasi muda dengan memanfaatkan media sosial dan permainan game online. Kelompok radikal juga mulai memanfaatkan permainan online dan berkomunikasi dengan generasi muda untuk mempengaruhi pola pikirnya.
Secara umum, kelompok terorisme menggunakan beberapa dalih untuk mempengaruhi pola pikir individu atau kelompok masyarakat agar terpengaruh dengan ideologi kelompok mereka. Beberapa dalih yang biasanya digunakan, seperti, mengajarkan sikap anti Pancasila. Dalam hal ini, mereka bergabung dalam kelompok pro ideologi transnasional. Biasanya mereka membanding-bandingkan ideologi Pancasila dengan agama. Misalnya, mempertanyakan mana lebih bagus antara Pancasila dengan Al-Qur’an. Ini merupakan pertanyaan yang tidak relevan dan tidak tepat dalam konteks bernegara seperti di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menghargai toleransi beragama.
Kedua, mengajarkan paham takfiri. Biasanya kelompok radikal memotong-motong ayat Al-Qur’an dan menafsirkannya sesuai dengan kepentingannya. Padahal seharusnya dalam menafsirkan ayat Al-Qur’an itu terlebih dahulu memahami asbabun nuzulnya dan kontekstual.
Ketiga, para kelompok radikalisme dan terorisme ini juga mengajarkan sikap eksklusif terhadap lingkungan dan anti perubahan. Selanjutnya, keempat, mengajarkan intoleransi terhadap keragaman dan popularitas.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI, Komjen Pol Mohammed Rycko Amelza Dahniel mengatakan seluruh elemen masyarakat diminta agar komitmen mengawasi media sosial supaya tidak dijadikan sebagai lahan penyebaran konten-konten radikal oleh oknum-oknum yang menginginkan perpecahan. Orang tua agar mengawasi anaknya bermain media sosial agar tidak dijadikan sebagai lahan penyebaran konten-konten radikal oleh oknum-oknum yang menginginkan perpecahan. Pihaknya juga meminta agar semua pihak memahami segala bentuk resiko dari radikalisme agar tidak mudah dimanfaatkan dan di brainwash oleh kaum intoleran untuk memengaruhi dna memecah belah bangsa.
Dalam penyebarannya, kelompok intoleran saat ini memfokuskan sasaran ke 3 kelompok rentan seperti perempuan, anak anak, dan remaja. Proses radikalisasi dilakukan secara sistematis, masif dan terencana dengan memanfaatkan jubah keagamaan dan memanipulasi simbol-simbol dan atribut agama.
Perempuan berperan penting dalam pembinaan keluarga, sementara anak dan remaja merupakan generasi penerus penggerak pembangunan bangsa dan negara, termasuk pembangunan ekonomi. Karenanya, tidak dapat dibayangkan jika ketiga kelompok rentan tersebut dalam jumlah besar terpapar paham radikal terorisme bahkan sampai melakukan tindakan pidana terorisme.
Pola yang sering dipakai oleh kaum intoleran adalah dengan menggunakan politik identitas, memproduksi konten hoaks, menebarkan kebencian, hingga politisasi agama. Kaum radikal tidak segan-segan untuk melakukan propagandanya di media sosial dan mempolitisasi hari-hari besar agama untuk menyerang Pemerintah. Semua itu digunakan sebagai bahan bakar untuk meraih dukungan elektoral.
Kanit Subdit Kontra Radikal Densus 88 Antiteror Mabes Polri, AKBP Moh Dofir mengatakan aparat keamanan terus memberikan imbauan atau sosialisasi kepada seluruh masyarakat tentang bagaimana berbahayanya paham radikalisme, terorisme dan intoleransi itu dan diharapkan pula kepada seluruh masyarakat untuk tidak sampai terjerumus dan terpengaruh oleh adanya paham berbahaya tersebut.
Untuk penyebaran paham radikalisme sendiri, kelompok ini juga sangat memahami akan perkembangan jaman. Maka dari itu kini mereka bertransformasi untuk menyebarluaskan ajaran mereka melalui berbagai macam platform dunia digital termasuk media sosial.
Selanjutnya, penting bahwa memperkuat kolaborasi antar pihak untuk menangkal terorisme secara berjamaah. Pemerintah bersama masyarakat perlu mengedepankan langkah-langkah kontra radikalisme dan deradikalisasi untuk mengembalikan kaum yang sudah terpapar radikalisme. Dengan begitu, upaya penangkalan radikalisme dan terorisme bisa dilakukan secara bersama-sama.
Maka dari itu, masyarakat Indonesia khususnya para generasi milenial maupun Gen Z harus bisa mengambil peran dalam menjaga ruang digital yang aman dengan menyebarkan konten-konten yang positif. Generasi muda juga diharapkan untuk mewaspadai penyebaran konten radikalisme, terorisme, serta tidak mudah termakan hoaks dan propaganda yang beredar di media sosial. Dengan begitu, akan timbul sinergitas dari seluruh pihak dalam rangka mencegah radikalisme dan terorisme dapat dicegah.