Konflik di Papua telah menjadi perhatian internasional selama beberapa dekade terakhir. Salah satu faktor yang memainkan peran kunci dalam konflik tersebut adalah keberadaan kelompok separatis yang beroperasi di wilayah tersebut. Kelompok-kelompok ini, yang sering diidentifikasi sebagai Gerakan Papua Merdeka dan kelompok terkait lainnya seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), Kelompok Separatis Teroris Papua (KSTP), hingga Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP) telah menjadi sumber ketegangan yang signifikan antara pemerintah Indonesia dan penduduk Papua.
Papua, yang merupakan bagian paling timur dari Indonesia, kaya akan sumber daya alam termasuk tambang emas, tembaga, dan gas alam. Namun, meskipun kekayaan alam begitu melimpah, pembangunan di wilayah tersebut masih belum merata, dan ketidaksetaraan ekonomi telah menjadi masalah yang mendalam. Kelompok separatis memanfaatkan ketidakpuasan ini untuk memobilisasi dukungan terhadap kemerdekaan Papua.
Kelompok separatis di Papua umumnya mencoba mencapai tujuannya melalui cara-cara yang bervariasi, termasuk aksi demonstrasi, kampanye politik, dan tidak jarang melalui tindakan kekerasan. Mereka mendesak pemerintah Indonesia untuk mengakui hak otonomi yang lebih besar atau bahkan kemerdekaan penuh bagi Papua.
Penting untuk dicatat bahwa kelompok separatis tidak homogen, dan ada berbagai aliran dan pemikiran di dalamnya. Beberapa kelompok mendukung pendekatan damai dan otonomi, sementara yang lain memilih jalur kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan mereka. Keberagaman ini dalam strategi dan tujuan kelompok separatis Papua dapat menyebabkan dinamika konflik yang kompleks dan sulit untuk dipecahkan.
Pemerintah telah menanggapi ancaman terhadap integritas wilayahnya dengan keras. Tindakan keras, baik militer maupun keamanan, sering kali digunakan untuk menekan kelompok-kelompok separatis. Namun demikian cara tersebut ternyata belum dapat memberantas kelompok separatis sepenuhnya, dan justru kerap dijadikan senjata bahwa pemerintah Indonesia melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap Orang Asli Papua (OAP). Hal ini kemudian menciptakan lingkungan konflik yang memperdalam kesenjangan antara pemerintah pusat dan penduduk Papua.
Pada tanggal 31 Desember 2023, Papua kembali menjadi pusat perhatian setelah terjadinya kericuhan yang diduga melibatkan kelompok separatis selama prosesi pengantaran jenazah Lukas Enembe, tokoh ternama asal Papua yang juga mantan Gubernur Papua. Insiden ini menyebabkan kehebohan dan meninggalkan pertanyaan besar tentang dinamika konflik di wilayah tersebut.
Dalam peristiwa tersebut, kelompok separatis Papua diduga terlibat dalam kericuhan yang terjadi selama pengantaran jenazah. Informasi awal menyiratkan bahwa kelompok ini mungkin telah mencoba memanfaatkan momen berkabung untuk menyuarakan tuntutan atau protes mereka.
Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen Izak Pengemanan menyebut kelompok separatis Papua yakni KNPB dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) terlibat kericuhan saat pengantaran jenazah mantan Gubernur Papua Lukas Enembe dari Bandara Sentani ke STAKIN dan rumah duka. Mereka berupaya memprovokasi rakyat Papua dengan melakukan pembakaran gedung dan mobil, hingga memicu situasi pemukulan Pj Gubernur Papua serta beberapa anggota TNI/Polri.
Sebelumnya Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Nugraha Gumilar juga mengatakan pihaknya tengah melakukan pengejaran sebagai upaya memburu pelaku penembakan dua Prajurit TNI dari Yonif 133/Yudha Sakti saat melaksanakan tugas pengamanan perbatasan di Boshua, Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat Daya. Penembakan itu menyebabkan dua prajurit TNI tertembak.
Nugraha mengatakan insiden penembakan diduga dilakukan oleh kelompok separatis teroris TPNPB Wilayah Sorong Raya. Kelompok ini diduga kerap menebar teror ke masyarakat di wilayah Distrik Aifat. TPNPB merupakan kelompok sayap Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Manfred Fatem.
Selain faktor-faktor politik dan ekonomi, isu-isu etnis juga berperan dalam konflik ini. Sebagian besar penduduk Papua adalah suku asli yang memiliki budaya, bahasa, dan sejarah sendiri. Beberapa kelompok separatis memandang diri mereka sebagai pembela kepentingan etnis Papua dan mencoba memperkuat identitas etnis mereka melalui perlawanan terhadap pemerintah pusat.
Gerakan yang dilakukan kelompok separatis di Papua seringkali merupakan gerakan bersenjata yang sporadis dan tidak terkoordinasi dengan baik. Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan kemerdekaan Papua ini juga telah berkembang dan merambah kampanye internasional sebagai media melancarkan aksinya. Hal ini karena gerakan bersenjata dianggap tidak efektif lagi dalam mewujudkan visi yang diinginkan. Alhasil, mereka adalah dalang dari semua konflik-konflik yang ada di Papua.
Konflik di Papua memiliki dampak serius terhadap kehidupan sehari-hari penduduk setempat. Masyarakat sipil sering kali menjadi korban, menderita akibat dari kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia. Upaya untuk menyelesaikan konflik ini memerlukan pendekatan komprehensif yang mencakup dialog antara pemerintah Indonesia dan kelompok separatis, serta perhatian terhadap isu-isu ekonomi, sosial, dan budaya yang mendasarinya.
Dengan mengatasi akar penyebab konflik, termasuk ketidaksetaraan ekonomi dan isu-isu etnis, serta melibatkan kelompok separatis dalam dialog konstruktif, ada harapan untuk mencapai perdamaian di Papua. Namun, perjalanan menuju penyelesaian konflik ini akan memerlukan komitmen kuat dari semua pihak terlibat dan dukungan dari komunitas internasional.