Oleh : Gema Iva Kirana )*
Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 sudah semakin dekat. Kendati demikian masyarakat diminta untuk senantiasa mengutamakan persatuan dan kebersamaan ditengah perbedaan politik yang ada.
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 menjadi sorotan utama dalam peta politik Indonesia. Kemeriahan dan gejolak politik semakin terasa menjelang perhelatan demokrasi tersebut.
Terkait hal tersebut, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, mengambil langkah tegas dalam memastikan bahwa pemilu kali ini harus menjunjung tinggi nilai-nilai persatuan dan kebersamaan.
Zulkifli Hasan, atau yang lebih akrab disapa Zulhas, telah memberikan seruan dan ajakan untuk menjaga persatuan dan kebersamaan dalam proses pemilu 2024. Dalam salah satu kunjungannya ke Pondok Pesantren Ar-Risalah Ponorogo, Zulhas dengan tegas menyampaikan pesan perdamaian kepada masyarakat.
Dia memandang pentingnya menjalani proses demokrasi dengan bijak dan menghindari perpecahan dalam persaingan politik. Zulhas menekankan bahwa persaingan politik harus selalu berada dalam kerangka amar maruf nahi mungkar, sehingga tidak ada tempat untuk saling menyakiti dan menyerang sesama warga negara. Dalam konteks inilah, pemilu harus dijalani dengan damai, etika, dan beradab.
Zulhas juga memberikan penekanan pada pentingnya mengekang emosi dan mendekati pemilu dengan kedamaian sebagai landasan. Pesan ini disampaikannya dalam upaya menciptakan suasana pemilu yang damai, menghindari ketegangan yang berlebihan, dan menjaga persatuan bangsa.
Dalam kunjungannya tersebut, Zulhas memaparkan keyakinannya bahwa Pemilu 2024 harus menjadi momen penyatuan dan perayaan demokrasi yang diwarnai oleh kebersamaan, bukan pertarungan yang merusak tatanan sosial.
Namun, Zulhas bukanlah satu-satunya tokoh yang mengangkat isu ini. Sayuti, Ketua Forum Masyarakat Cinta Bangsa (FMCB), juga memberikan sorotan terhadap urgensi menjaga persatuan bangsa dalam pemilu.
Dalam sebuah diskusi publik dengan tema ‘Ancaman Polarisasi dan Ujaran Kebencian: Bermuatan SARA di Ruang Digital di Tahun Politik’, Sayuti menegaskan bahwa Pemilu 2024 bukanlah semata-mata tentang siapa yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Lebih dari itu, Sayuti menekankan pentingnya memastikan bahwa perbedaan pilihan politik tidak berujung pada pemecahan bangsa.
Sayuti menggambarkan pengalaman pahit yang dialami dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dan Pilpres 2019, di mana polarisasi dan pertarungan politik berbasis SARA mengguncang fondasi sosial masyarakat. Sebagai contoh, pertarungan SARA di dua momen pemilu tersebut mendominasi, mengungguli gagasan, ide, dan visi misi.
Hal ini menyebabkan kerusakan ekosistem berbangsa dan bernegara, dengan dampak yang merambah hingga ke tatanan keluarga dan masyarakat. Bahkan, dalam beberapa kasus, perbedaan politik telah menciptakan konflik yang cukup serius, seperti perceraian dalam rumah tangga dan pertikaian di antara keluarga sendiri.
Pernyataan Sayuti ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga persatuan dan kebersamaan di tengah perbedaan politik.
Selain itu, Direktur Eksekutif Studi Rakyat Demokrasi (SDR), Hari Purwanto, turut memberikan pandangan yang sejalan. Hari Purwanto mencermati bahwa masyarakat Indonesia telah mencapai tingkat kelelahan terhadap politik yang memanfaatkan isu-isu agama, ras, dan golongan sebagai alat untuk memenangkan pemilu.
Fokus pemilih telah berpindah dari konflik identitas menuju gagasan dan ide dari calon presiden dan calon wakil presiden. Hal ini menandakan bahwa pemilu harus menjadi platform yang mempromosikan gagasan konstruktif dan pemikiran yang rasional, serta menghindari polarisasi dan ujaran kebencian.
Dalam pandangan Hari Purwanto, pemuda yang saat ini menjadi mayoritas pemilih telah menunjukkan sikap yang lebih dewasa dan cenderung untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara. Mereka lebih fokus pada memahami visi, misi, dan program calon presiden dan calon wakil presiden, dan kurang tertarik pada polarisasi.
Ini menunjukkan bahwa masyarakat semakin matang dalam memahami pentingnya persatuan bangsa, dan demokrasi yang berlandaskan ide dan gagasan.
Di samping itu, Ketua Umum Relawan PRABU, Arvindo Noviar, juga mengamati pergeseran dalam polarisasi politik. Menurut Arvindo, polarisasi politik saat ini telah berkurang, terutama di kalangan generasi muda yang semakin aktif dalam ruang publik digital.
Meskipun demikian, Arvindo juga menyoroti pengaruh negatif media sosial dan digitalisasi terhadap semangat nasionalisme. Hal ini menggarisbawahi bahwa pendekatan yang lebih dewasa dalam berpolitik sangat penting untuk dilakukan dalam Pemilu 2024.
Menurut Arvindo, semesta mendukung untuk menjadikan pemilu Indonesia yang akan datang sebagai panggung yang mempromosikan pemikiran yang lebih seimbang, menjauhi konflik yang merusak, dan memberikan ruang untuk diskusi dan elaborasi. Pandangan ini mencerminkan semangat untuk menciptakan pemilu yang lebih damai dan mendamaikan perbedaan politik.
Dari pandangan narasumber di atas, terlihat bahwa Pemilu 2024 harus dianggap sebagai sebuah momentum untuk mempromosikan persatuan, kebersamaan, dan pemikiran positif. Masa depan Indonesia yang gemilang harus dibangun di atas fondasi persatuan dalam keberagaman.
Semua elemen masyarakat, para pemimpin, dan pemilih harus berperan aktif dalam menjaga kedamaian dan mengutamakan persatuan dalam perbedaan. Pemilu bukan sekadar ajang pertarungan politik yang merusak, melainkan kesempatan bagi seluruh bangsa untuk bersatu dalam mencapai cita-cita bersama.
Semoga pesan perdamaian ini menjadi tonggak penting dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah dan harmonis.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute