Jakarta – Ketua Badan Pengurus Setara Institute, Hendardi mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) sedang mempromosikan konstitusional evil atau kejahatan konstitusional. MK dinilai membuka diri untuk dipolitisasi.
Hal tersebut dikatakannya dalam menanggapi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu dinyatakan bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
“MK tidak lagi menegakkan konstitusi tetapi mengakomodami aspirasi politik dari aktor politik, bukannya menjadi wasit yang adil dan pengatur irama politik, justru MK membuka diri untuk dipolitisasi dengan mengakomodasi kehendak politik, utamanya yang datang dari aktor penguasa,” katanya dalam Webinar Nasional yang digelar Moya Institute (17/10).
Hendardi menjelaskan, semestinya sejak sidang pembukaan, MK sudah bisa memutuskan bahwa uji materiil batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah isu konstitusional dan bukan urusan MK, dan oleh karenanya sejak awal dinyatakan tidak diterima.
“Dalam sidang pendahuluan seharusnya didesain untuk menyaring perkara mana yang masuk dalam kewenangan MK dan menegaskan ada tidaknya isu konstitusional di dalam sebuah norma, bukan seperti menjadi ‘Mahkamah Keranjang Sampah’, semua perkara mencoba dijalani,” tegas Hendardi.
Pada kesempatan yang sama, dari pandangan akademisi sekaligus cendekiawan Islam yakni Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Dr. Abdul Mu’ti, MK sudah menjadi institusi yang justru merusak marwahnya sendiri.
“Banyak beredar dari penyataan sebagian para hakim konstitusi bahwa mereka tidak mengira akan seperti itu, dan itu seperti diambil sapihak oleh hakim tertentu di MK, ini juga bisa menjadi preseden buruk dan perpecahan dalam internal MK yang itu tidak seharusnya terjadi,” tutur Prof. Abdul.
Menurutnya, pernyataan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa suatu UU jangan hanya dilihat dari sisi materinya tapi juga suasan kebatinan yang menyertainya sekarang memang sepertinya sudah semakin tercerabut sehingga berbagai hal menyangkut UU dan berbagai keputusan legal memang menjadi instrumen untuk kepentingan tertentu dan begitu kasat mata.
Pemerhati Isu Strategis dan Global, Prof. Imron Cotan mengungkapkan, keputusan MK kali ini melebihi apa yang diminta, sehingga menimbulkan kerancuan dan pertanyaan besar di kalangan masyarakat.
“Karena kontrak sosial baru kita adalah anti KKN termasuk untuk kemajuan demokrasi. Itulah dasar dari berdirinya pemerintah pasca reformasi, kita sudah komitmen untuk mencegah praktik KKN sekaligus memajukan nilai-nilai demokrasi sehingga dalam kehidupan kita bisa mempunyai dasar yang kokoh menuju Indonesia Emas 2045,” tuturnya.
Hampir senada juga dengan Prof Abdul, Prof Imron mengungkapkan bahwa MK sudah melampaui kewenangannya karena sudah mengambil alih fungsi legislasi yang dimiliki oleh DPR dan Presiden sebagai pembuat UU. [-red]