Jakarta – Kepemimpinan nasional hasil kontestasi politik 2024 harus memiliki kemampuan navigasi untuk membawa bangsa melampaui dinamika internasional agar kepentingan nasional tetap tercapai. Persatuan dan kesatuan menjadi prioritas dan modal utama menuju “Indonesia Emas 2045”.
Hal ini terungkap dalam webinar nasional yang diselenggarakan Moya Institute bertajuk “Proklamasi: Peluang dan Tantangan Pemimpin Menyongsong Indonesia Emas 2045”, Jumat (25/8) kemarin.
Sejumlah pengamat dan tokoh mengikuti acara webinar nasional tersebut, yakni pemerhati isu-isu strategis dan global yang juga mantan Dubes RI untuk Cina, Prof. Imron Cotan, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana, Politikus Reformasi, Fahri Hamzah, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti, dan Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto.
Prof. Imron Cotan mengatakan Pilpres 2024 menjadi kesempatan bagi rakyat Indonesia untuk memilih pemimpin yang memiliki komitmen kuat terhadap persatuan dan kesatuan nasional. Dia harus mampu membangun komunikasi antara berbagai kelompok masyarakat, dan dalam mengambil keputusan mempertimbangkan kepentingan bersama.
“Pilpres menjadi momentum krusial dalam menentukan arah Indonesia di dua dekade mendatang. Pemilih harus mempertimbangkan calon yang tidak hanya memiliki visi internasional yang jelas, tetapi juga komitmen kuat untuk memajukan kepentingan domestik,” ujar Imron Cotan.
Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Hikmahanto Juwana, siapapun yang memegang tampuk kepemimpinan nasional selanjutnya harus mampu menggelorakan semangat dan cara pandang bahwa Indonesia dapat menjadi negara super power.
“Guna mencapai keinginan tersebut, maka siapa saja calon presiden yang telah ditetapkan oleh KPU perlu memiliki komitmen untuk menolak intervensi luar negeri yang berupaya mengendalikan kita,” katanya.
Politikus Reformasi, Fahri Hamzah, mengemukakan pemimpin yang akan datang harus meneruskan program pembangunan Presiden Jokowi, sehingga terjadi kesinambungan, termasuk IKN. Saat ini Indonesia tengah menuju cita-cita yang dituliskan oleh para pendiri bangsa dalam Pembukaan UUD 1945, yakni menempatkan Indonesia dalam perspektif internasional.
“Pemimpin yang akan datang harus meneruskan program pembangunan Presiden Jokowi, termasuk IKN. Tidak lama setelah Proklamasi, Indonesia menjadi pemain global, misalnya adanya Konferensi Asia-Afrika yang menginspirasi bangsa-bangsa di dunia,” ungkap Fahri.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti, berpendapat bahwa ada empat kedaulatan yang penting diperkuat untuk mencapai “Indonesia Emas 2045”. Pertama, kedaulatan politik yakni menentukan nasib sendiri, sesuai UUD 1945. Kedua, kedaulatan wilayah untuk mengoptimalkan semua yang terkandung di dalam bumi Indonesia. Ketiga, kedaulatan budaya yang menunjukkan kita memiliki kekhasan dan karakter unik sebagai bangsa Indonesia. Terakhir, kedaulatan posisi internasional untuk menciptakan perdamaian dunia
“Agar keempat kedaulatan tersebut menjadi pondasi menuju Indonesia Emas 2045, kekuatan penopangnya ada pada sumber daya manusia, yakni jumlah penduduk terdidik. Untuk itu, program pemerintah baru nanti haruslah merupakan kesinambungan, tidak diubah-ubah dan dimulai dari titik nol lagi,” tegas Mu’ti.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto, mengatakan bahwa Indonesia harus mampu melahirkan pemimpin nasional yang berkualitas dan unggul dalam setiap era pemerintahan.
“Modal kuat yang harus dimiliki oleh para pemimpin masa depan adalah kemampuan untuk menciptakan, menjaga, dan memupuk persatuan serta kesatuan bangsa,” ujar Hery.