Jakarta, suarapapuanews– Radikalisme adalah paham yang sangat berbahaya karena mempengaruhi siapa saja, termasuk pegawai Pemerintah. Status mereka sebagai abdi negara harus mencerminkan kesetiaan pada negara sehingga tidak boleh bersinggungan dengan radikalisme.
Posisi sebagai pegawai pemerintah adalah impian banyak orang karena merupakan bagian dari pengabdian kepada negara. Tak heran tiap tahun banyak yang mendaftar saat ada pembukaan lowongan CPNS (calon pegawai negeri sipil). Pegawai pemerintah adalah pekerjaan penuh prestise.
Posisi sebagai pegawai pemerintah juga amat riskan karena penuh dengan godaan. Bukan hanya godaan untuk melakukan korupsi, tetapi juga pengaruh dari kelompok radikal. Jangan sampai seorang pegawai pemerintah malah jadi simpatisan kelompok radikal apalagi jadi pengurusnya, karena sama saja dengan jadi penghianat negara.
Rumadi Ahmad, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa untuk mencegah radikalisme di kalangan pegawai pemerintah maka pertama-tama harus melakukan seleksi ketat sejak awal. Dalam artian, ketika pembukaan CPNS maka jangan hanya dilihat dari nilai tesnya dan biodatanya tetapi juga ada seleksi khusus untuk membuktikan bahwa calon pegawai tersebut bebas radikalisme.
Seleksi khusus untuk mengetahui bahwa seorang peserta CPNS bebas radikalisme bisa dilakukan dengan cara, pertama dengan tes dengan soal pilihan ganda. Nanti dia ditanya apa tahu tentang terorisme, siapa biang teroris di Indonesia, apakah mendukung radikalisme dan terorisme, dan lain sebagainya. Jika dia mengaku mendukung teroris maka otomatis tidak lolos CPNS.
Cara kedua adalah dengan melihat akun media sosialnya. Semua Medsos peserta CPNS mulai dari Twitter, Facebook, Instagram,dan lain sebagainya harus dilihat, apakah ia pernah membuat status mengenai radikalisme dan negara khilafah atau menyukai sebuah Fanpage yang ternyata miliki ISIS atau kelompok teroris lainnya.
Seleksi ketat wajib dilakukan agar seseorang yang sudah lolos CPNS benar-benar bebas radikalisme. Jangan sampai setelah diterima, ternyata baru ketahuan pernah bersimpati pada kelompok radikal. Memang bisa dikenakan teguran dan sanksi tetapi alangkah eloknya jika penyaringan CPNS dari radikalisme dilaksanakan dari awal.
Rumadi melanjutkan, untuk mencegah penyebaran radikalisme di kalangan pegawai pemerintah maka cara kedua adalah dengan pembinaan yang terkait dengan mental ideologi. Salah satunya adanya dengan mengadakan seminar rutin untuk menunjukkan bahwa ideologi radikal salah karena berseberangan dengan Pancasila. Kelompok radikal juga dianggap pemberontak karena ingin mendirikan negara khilafah.
Para pegawai pemerintah perlu diingatkan lagi tentang bahaya radikalisme, karena anggota kelompok radikal makin banyak dan mereka menyamar sebagai warga sipil biasa. Bisa jadi tetangga seorang pegawai pemerintah adalah anggota kelompok radikal, lalu berpura-pura baik. Namun kemudian diam-diam menyebarkan radikalisme dan mengadakan sesi cuci otak yang berbahaya sekali.
Pembinaan memang perlu dilakukan secara teratur karena seorang pegawai pemerintah bisa jadi sasaran empuk dari anggota kelompok radikal. Penyebabnya karena jika ia sudah jadi anggota kelompok radikal maka bisa memberikan sumbangan dana serta menyalahgunakan pangkat dan fasilitasnya di kantor. Jangan sampai hal buruk ini terjadi karena bisa menyuburkan radikalisme di Indonesia.
Pencegahan penyebaran paham radikal di kalangan pegawai pemerintah harus dilakukan sejak dini dan simultan. Jangan sampai ada abdi negara yang terperosok dalam arus radikalisme karena ia akan menjadi penghianat negara. Dengan adanya penyaringan dan pembinaan secara ketat tersebut, maka penyebaran radikalisme diharapkan diminimalisasi.
)* Penulis adalah kontributor Pertiwi Insn
(AK/AA)