Oleh: Teuku Zamzami Alwi
Aceh kembali memperlihatkan watak sejatinya sebagai wilayah yang tangguh ketika banjir dan tanah longsor melanda pada penghujung tahun 2025. Pemerintah, baik dari pusat, daerah dan juga seluruh masyarakat langsung bergerak dengan sangat cepat, terorganisir, serta saling percaya pada kekuatan sendiri dengan dukungan penuh dari negara, tanpa harus menggantungkan harapan mereka pada bantuan dari bangsa asing sama sekali.
Respons tersebut lahir bukan begitu saja tentunya, melainkan berasal dari bagaimana karakter panjang Aceh sebagai daerah yang memang sejak lama sudah terbiasa dalam menghadapiberbagai macam krisis besar dengan memiliki daya tahan sosial yang sangat kuat dan sudah teruji dari dulu.
Ketangguhan Aceh tersebut, tentu tidak muncul secara tiba-tiba dan begitu saja ada. Sejarah panjang perlawanan terhadap kolonialisme, pengalaman konflik, hingga tragedi tsunami 2004 membentuk mental kolektif yang terbiasa menghadapi situasi ekstrem.
Dalam konteks bencana terkini, memori sosial tersebut menjelma menjadi kesiapsiagaan, solidaritas, dan kemampuan bertindak cepat di tingkat komunitas. Aceh tidak menunggu untuk diselamatkan, melainkan bergerak untuk menyelamatkan diri secara terorganisir.
Fondasi ketangguhan tersebut semakin diperkuat oleh kondisi ekonomi yang relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan ketiga 2025 tercatat sebesar 4,46 persen secara tahunan, melanjutkan tren positif sejak tahun sebelumnya.
Di Banda Aceh, peningkatan PDRB per kapita yang konsisten selama lebih dari satu dekade menunjukkan bahwa ekonomi lokal tumbuh melalui aktivitas domestik. Pembangunan daerah juga ditopang oleh dominasi investasi dalam negeri, dengan realisasi penanaman modal mencapai Rp4,16 triliun pada triwulan ketiga 2025 dan sebagian besar berasal dari PMDN. Fakta tersebut menegaskan bahwa mesin ekonomi Aceh digerakkan oleh kekuatan nasional dan lokal.
Dari sisi fiskal, Aceh memiliki ruang gerak yang cukup solid. Realisasi pendapatan APBD yang melampaui Rp22 triliun hingga Agustus 2025, ditopang Pendapatan Asli Daerah serta Dana Otonomi Khusus sekitar Rp4,3 triliun, menjadi instrumen penting untuk membiayai pemulihan pascabencana.
Skema anggaran tersebut memungkinkan Aceh mempercepat rehabilitasi infrastruktur, layanan sosial, serta penguatan mitigasi risiko tanpa harus membuka ketergantungan terhadap bantuan atau pinjaman asing.
Ketika bencana hidrometeorologi kembali menguji pada akhir 2025, pola respons tersebut tampak semakin matang. Pemerintah Aceh segera menetapkan status tanggap darurat dan mempercepat koordinasi dengan pemerintah pusat.
Presiden Prabowo Subianto turun langsung ke wilayah terdampak untuk memastikan distribusi bantuan dan pemulihan akses berjalan efektif. Pemerintah pusat mengerahkan sumber daya nasional, mulai dari dukungan logistik Kementerian Sosial, jaminan stok pangan oleh Badan Pangan Nasional, hingga pemanfaatan teknologi satelit nasional untuk menjaga komunikasi di wilayah terisolasi.
Di luar kebijakan formal, ketangguhan Aceh berakar kuat pada budaya dan kearifan lokal. Ingatan kolektif atas tsunami 2004 membentuk kesadaran mitigasi berbasis komunitas yang masih terpelihara hingga kini.
Tradisi Smong di Simeulue menjadi simbol bagaimana pengetahuan turun-temurun mampu membangun kewaspadaan dan menyelamatkan nyawa. Nilai religius yang kuat turut membentuk daya tahan psikososial masyarakat, sehingga pemulihan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mental dan sosial.
Ketangguhan tersebut semakin nyata melalui peran masyarakat. Ratusan dapur umum komunitas berdiri secara swadaya di berbagai wilayah terdampak dan melayani ratusan ribu warga.
Partisipasi aktif dalam evakuasi, distribusi bantuan, serta pemulihan lingkungan memperlihatkan kuatnya modal sosial Aceh. Budaya meuseuraya atau gotong royong menjadi penggerak utama di lapangan, bahkan ketika akses logistik masih terbatas.
Sikap pemerintah pusat yang menegaskan kemampuan nasional menangani bencana tersebut bukan penolakan terhadap solidaritas global, melainkan pernyataan kedaulatan kapasitas negara.
Menteri Sekretaris Negara menegaskan bahwa stok pangan, energi, serta dana siap pakai APBN berada dalam kondisi memadai, dengan ruang penambahan anggaran bila dibutuhkan. TNI dan Polri terus diperkuat sebagai garda terdepan penanganan bencana.
Pandangan tersebut sejalan dengan penilaian parlemen. Anggota Komisi II DPR RI Ujang Bey menilai pemerintah telah menakar kapasitas nasional secara matang sebelum memutuskan tidak membuka ruang bantuan asing.
Fokus utama, menurutnya, tetap pada kecepatan dan ketepatan respons negara dalam menjawab kebutuhan masyarakat terdampak, bukan pada polemik administratif yang berpotensi mengaburkan tujuan pemulihan.
Peran negara semakin terasa ketika akses darat ke sejumlah wilayah Aceh terputus total. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menegaskan pengiriman logistik via udara diambil alih sepenuhnya oleh pemerintah pusat dari Jakarta dan Medan.
Langkah tersebut memastikan pasokan pangan tetap tersedia di wilayah yang terkunci secara geografis, sekaligus menegaskan kehadiran negara sebagai penopang terakhir dalam situasi darurat.
Ketangguhan Aceh pada 2025 dengan demikian tidak berdiri di atas penyangkalan bencana, melainkan pada kemampuan mengelola krisis secara mandiri dan bermartabat. Aceh menunjukkan bahwa bangkit bukan sekadar kembali ke kondisi semula, melainkan memperkuat fondasi ekonomi, sosial, dan kelembagaan agar lebih siap menghadapi risiko berikutnya.
Dengan masyarakat yang resilien dan negara yang hadir penuh, Aceh membuktikan bahwa ketahanan daerah dapat dibangun tanpa bergantung pada bantuan asing, sambil tetap membuka ruang kerja sama yang setara dan berdaulat. (*)
*) Pengamat Kebijakan Publik