Oleh: Fajar Dwi Santoso
Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan pemerintah telah menunjukkan bagaimana langkah yang sangat konkret ketika proses penetapan ulang sejarah nasional hingga saat ini mampu bergerak ke tahap yang lebih terstruktur.
Kolaborasi tersebut semakin menegaskan terkait seperti apa keseriusan dari dua lembaga negara itu dalam membangun narasi sejarah nasional yang jauh lebih Indonesia-sentris, sekaligus juga dapat mengakhiri kevakuman panduan penulisan sejarah selama lebih dari dua dekade lamanya.
Penegasan mengenai bagaimana arah baru historiografi nasional itu menempatkan perspektif bahwa bangsa Indonesia sebagai pusat penafsiran, bukan berasal dari pandangan kolonial atau kepentingan pihak luar sama sekali.
Kesepakatan yang muncul dalam rapat kerja Komisi X dan Kementerian Kebudayaan pada bulan Mei 2025 lalu, berfungsi sebagai titik balik yang penting. Pasalnya, dalam raker tersebut, DPR telah menyetujui adanya alokasi anggaran sekitar Rp9 miliar dan juga sekaligus menyusun kerangka pengawasan yang ketat agar seluruh proses itu bisa berjalan dengan transparan, ilmiah, serta bebas dari intervensi politik dalam bentuk apapun.
Sinergi tersebut semakin memperlihatkan bahwa pembaruan sejarah tidak hanya sekadar diletakkan sebagai agenda birokratis biasa, melainkan sebagai salah satu fondasi strategis dalam upaya pembentukan identitas nasional yang jauh lebih kokoh dari sebelumnya.
Sejalan dengan arah kebijakan itu, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan harapan besar terhadap nada narasi yang telah disusun. Ia memproyeksikan bahwa keseluruhan penulisan sejarah nasional dapat memiliki tone yang lebih netral dan positif jika dibandingkan dengan sebelumnya, terutama dalam menggambarkan seperti apa peran dari para pemimpin bangsa Indonesia sejak masa Presiden RI pertama, Sukarno hingga Presiden RI ketujuh, Joko Widodo.
Fadli memandang bahwa sejarah itu sejatinya harus terus dapat memberi ruang bagi penilaian yang adil terhadap kontribusi dari tiap era, bukan hanya sekadar menonjolkan sisi kontroversial saja.
Pendekatan tersebut diharapkan mampu menghadirkan historiografi yang lebih dewasa dan proporsional, yang merekam seperti apa perjalanan bangsa Indonesia tanpa adanya distorsi bias politik sesaat.
Fadli juga menekankan perlunya menghapus jejak historiografi kolonial yang selama puluhan tahun membentuk cara masyarakat memahami masa lalu. Beberapa buku rujukan era Hindia Belanda, seperti karya Stapel, dinilai terlalu menonjolkan tokoh dan sudut pandang kolonial, sementara tokoh pribumi ditempatkan sebagai figur pelengkap.
Penetapan ulang sejarah berupaya membalik pendekatan tersebut dengan menghadirkan pemeran utama berdasarkan pengalaman bangsa sendiri. Narasi yang dibangun akan menjadi sejarah dari perspektif Indonesia, bukan sejarah Indonesia yang dipaksa mengikuti kacamata kekuatan asing.
Penyusunan buku sejarah terbaru melibatkan lebih dari seratus penulis dari 34 perguruan tinggi dan berbagai institusi. Pelibatan akademisi, arkeolog, ahli arsitektur, geografer, hingga ilmuwan humaniora memperlihatkan upaya serius menghadirkan karya komprehensif.
Komposisi penulis juga berasal dari berbagai daerah untuk menghindari bias geografis. Pendekatan tersebut memperkuat harapan terciptanya narasi yang merepresentasikan memori kolektif seluruh bangsa, bukan hanya narasi yang berpusat di pulau tertentu.
Sinergi DPR dan pemerintah tidak berhenti pada persetujuan anggaran. Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menekankan perlunya proses penulisan yang inklusif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ia memandang penulisan sejarah bukan sekadar urusan akademis, melainkan pembentukan memori kolektif bangsa yang akan diwariskan kepada generasi mendatang. Penegasan tersebut memperlihatkan bahwa pengawasan legislatif diarahkan untuk memastikan seluruh langkah penyusunan dilakukan dengan kehati-hatian serta keterbukaan penuh.
Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Sejarah (FKMPS) turut menyoroti pentingnya proyek ini. Ketua Dewan Penasehat FKMPS, Laksamana (Purn.) Tedjo Edhie Pudjiatno, menilai penulisan sejarah tidak boleh dikerjakan dengan tergesa-gesa.
Ia menekankan perlunya integritas dan kebijaksanaan dalam merangkai peristiwa masa lalu, karena sejarah berfungsi sebagai penuntun arah masa depan bangsa. Pendapat tersebut mempertegas bahwa dukungan publik tetap disertai dorongan agar proses ini berlangsung komprehensif dan bertanggung jawab.
Ketua Dewan Pembina FKMPS, Heppy Trenggono, menambahkan bahwa sejarah yang jujur dan disusun dengan keilmuan yang kuat akan memperkuat karakter nasional. Ia melihat penetapan ulang sejarah sebagai langkah yang menentukan kualitas pemahaman generasi mendatang mengenai identitas bangsanya. FKMPS bahkan menyatakan siap menjadi mitra strategis pemerintah untuk mendukung objektivitas proses penulisan.
Melalui penetapan ulang sejarah, DPR dan pemerintah sedang membangun narasi Indonesia-sentris yang relevan dengan kebutuhan masa kini. Perspektif tersebut tidak hanya berfungsi mengoreksi bias kolonial, tetapi juga membantu membentuk diplomasi budaya yang lebih kuat di ranah global. Selain itu, penataan ulang historiografi memungkinkan agenda pembangunan nasional dilihat sebagai perjalanan kolektif seluruh daerah, bukan dari sudut pandang wilayah tertentu.
Sinergi dua lembaga negara dalam proyek ini memperlihatkan kesadaran bersama bahwa bangsa yang besar harus memahami dirinya melalui kacamata sendiri. Penetapan ulang sejarah kemudian hadir sebagai langkah strategis untuk memastikan bahwa masa lalu bangsa dipahami secara adil, direkam secara ilmiah, dan diwariskan secara bermartabat kepada generasi berikutnya. Dengan arah kerja yang lebih terukur, Indonesia sedang menata kembali landasan historis yang akan membentuk jati diri bangsa pada masa depan. (*)
Pengamat Politik Nasional – Forum Politik Mandala Raya