Bandung – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 telah dilaksanakan pada 27 Oktober 2024. Perbedaan pilihan politik dan polarisasi selama proses Pilkada bukan hal yang baik untuk dilanjutkan. Stabilitas sosial dan keharmonisan pasca Pilkada 2024 harus tetap dijaga. Oleh karena itu, upaya penguatan integrasi sosial pasca Pilkada 2024 sangat penting dilakukan berbagai elemen masyarakat.
Penata Kehumasan Polri Utama Tingkat II Divhumas Polri Brigjen Pol Saptono Erlangga Waskitoroso mengatakan, Pilkada adalah momen penting dalam demokrasi. Namun pilkada sering menimbulkan polarisasi sosial yang dapat memengaruhi stabilitas daerah, termasuk di Jawa Barat.
“Untuk itu, kita semua perlu terlibat dalam integrasi anak bangsa yang melibatkan pemerintah, masyarakat, tokoh agama, dan pemangku kepentingan,” ujar Brigjen Pol Erlangga.
Brigjen Pol Erlangga mengatakan, pasca-Pilkada, rekonsiliasi, dan penguatan nilai kebangsaan menjadi kunci untuk memulihkan hubungan sosial serta membangun kembali kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.
Sementara itu, Guru Besar dalam bidang Bimbingan dan Konseling pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Prof Dr Uman Suherman, menekankan pentingnya Demokrasi Pancasila sebagai landasan untuk mengelola keberagaman sosial dan budaya di Jawa Barat.
“Keberagaman adalah kekuatan kita dan Pancasila adalah jalan untuk merayakan perbedaan tanpa merusak keharmonisan sosial,” ungkap Prof Uman.
Prof Uman mengatakan, keberagaman di masyarakat, baik dalam aspek agama, tempat asal, adat istiadat, maupun status sosial ekonomi, merupakan potensi yang harus dikelola dengan baik untuk menciptakan masyarakat lebih damai, harmonis, dan sejahtera. Kedamaian bukan hanya tentang tidak adanya konflik, tetapi juga kesadaran untuk menghormati satu sama lain.
“Jika kita semua memahami dan mempraktikkan prinsip-prinsip Pancasila, maka integrasi sosial yang kita impikan bisa terwujud, ” ujar Prof Uman.
Dia menuturkan, dimensi kedamaian manusia melibatkan kesadaran moral, tanggung jawab, dan pemahaman akan keterbatasan diri yang akhirnya mengarah kepada penghargaan terhadap orang lain.
Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran , Dr. Mei Susanto mengatakan bahwa revitalisasi nilai-nilai Pancasila melalui pendidikan berbasis teknologi perlu diterapkan untuk menyasar generasi muda. “Generasi muda yang sangat akrab dengan dunia digital membutuhkan pendekatan yang relevan agar mereka dapat memahami dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Dr Mei.
Selain itu, Dr Mei mengatakan penting juga untuk memahami demokrasi yang dijalani harus lebih dari sekadar proses voting. “Demokrasi bukan hanya tentang mayoritas suara, tetapi tentang keadilan dan kebenaran yang dapat mengakomodasi keberagaman, menjamin hak minoritas, dan mendorong rekonsiliasi di antara perbedaan,” ucap Dr Mei.
Sementara itu, Praktisi komunikasi, Dr Dadang Rahmat Hidayat, mengatakan, memahami dinamika Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) penting dalam membangun persatuan dan kesatuan di masyarakat.
“Penting bagi kita untuk memahami IKP, karena ini adalah indikator yang memberi gambaran tentang potensi kerawanan yang bisa terjadi pasca-pilkada. Seperti polarisasi sosial, penyebaran hoaks, dan ancaman fisik,” kata Dr Dadang.
Dr Dadang mengatakan, narasi komunikasi yang sehat akan sangat membantu dalam menciptakan stabilitas sosial pasca Pilkada. “Narasi komunikasi yang kita bangun harus mencerminkan nilai-nilai persatuan,” ujar Dr Dadang.
Menurut Dr Dadang, jika narasi yang berkembang saling menghormati dan mendorong rekonsiliasi, potensi konflik bisa diminimalisir. “Media sosial memiliki peran penting dalam membentuk narasi ini, karena remaja, khususnya Gen Z dan Alpha, sangat terpengaruh oleh tren yang berkembang di dunia maya,” ungkap Dr Dadang.
Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan media untuk menciptakan ruang dialog yang inklusif dan konstruktif. Di era digital, perilaku remaja sangat dipengaruhi oleh media sosial. Media sosial memberi ruang bagi remaja untuk mencari identitas dan menemukan penerimaan kelompok sebaya. Inilah yang membentuk perilaku mereka, termasuk dalam hal memilih pemimpin atau merespons proses Pemilu.
Oleh karena itu, Dr Dadang mendorong agar komunikasi strategis berbasis nilai-nilai persatuan dan toleransi harus terus diperkuat di kalangan generasi muda.