Oleh: Ayub Kurniawan*)
Perang antara negeri di wilayah Timur Tengah, yakni Iran dengan Israel belakangan tengah bergejolak. Bahkan dampak dari bergejolaknya konflik tersebut menjadikan perekonomian dunia dalam ambang ketidakstabilan. Meski begitu, namun nyatanya sektor ekonomi di Indonesia tetap saja on the track.
Kondisi perekonomian nasional di Indonesia ternyata masih mencatatkan hal yang positif dan cenderung stabil meski tengah terjadi perang antara Iran dengan Israel. Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa ini memiliki pondasi perekonomian yang sangat kuat sehingga tidak mudah terguncang.
Tentunya berbagai macam hal mempengaruhi mengapa ekonomi nasional tetap pada jalurnya atau on track meski di tengah bergejolaknya perang antara Iran dengan Israel. Salah satunya adalah bagaimana strategi yang diterapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) sangat optimal untuk menjaga stabilisasi tersebut.
Sebelumnya, diketahui bahwa konflik yang terjadi antara negara di Timur Tengah dalam beberapa hari belakangan ini memang sempat memanas setelah Iran meluncurkan drone dan rudal peledak ke Israel sebagai sebuah bentuk balasan atas serangan Israel terhadap konsulatnya di Suriah, pada tanggal 14 April 2024 lalu.
Terkait adanya gejolak yang luar biasa dalam taraf internasional tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah tetap tenang ketika menghadapi dampak dari ketegangan geopolitik yang terjadi di Timur Tengah itu, utamanya pasca serangan Iran ke Israel beberapa waktu lalu.
Sejauh ini sama sekali tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena dinilai bahwa kecil potensi perang tersebut untuk meluas sehingga mampu memberikan dampak terhadap perekonomian nasional di Tanah Air.
Lebih lanjut, ternyata kepercayaan dari para investor atau penanam modal terhadap bagaimana kuatnya ketahanan perekonomian Indonesia cukup baik pula meski di tengah terjadinya gejolak pasar global akibat dari ekskalasi geopolitik di Timur Tengah saat ini.
Bahkan, sasaran pertumbuhan ekonomi nasional saja masih ditetapkan pada kisaran angka lebih dari 5 (lima) persen pada tahun 2024 ini, yang mana angka tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan hanya akan tumbuh pada 3,2 persen saja.
Dalam kondisi serba tidak pasti seperti sekarang ini, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) masih menjadi shock absorber atau peredam guncangan, terutama melalui adanya anggaran subsidi dan kompensasi dari bahan bakar minyak (BBM) sehingga gejolak ekonomi dunia tidak berdampak secara langsung kepada masyarakat.
Kemudian, Pemerintah RI juga terus mengerahkan bantuan langsung tunai (BLT0 dalam rangka mitigasi akan risiko pangan. Hal tersebut dipersiapkan untuk pengendalian inflasi pangan, yang mana sejalan dengan kebijakan itu, pemerintah juga terus menggalakkan pengendalian inflasi di daerah.
Strategi lain yang dilakukan oleh pemerintah untuk semakin memperkuat ketahanan atau stabilitas ekonomi nasional adalah melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengoptimalkan pembelian dollar Amerika Serikat (AS) dalam jumlah yang besar dengan waktu yang singkat.
Langkah pengoptimalan pembelian dollar AS tersebut, terutama berlaku pada BUMN yang terdampak akibat bahan baku impor dan juga BUMN dengan porsi utang luar negeri yang besar seperti Pertamina, PLN, BUMN Farmasi, MIND ID.
Jelas saja, kalau situasi dollar AS sedang mengalami penguatan, maka tentu tidak akan bijak untuk melakukan pembelian dollar pada harga yang sedang tinggi, maka dari itu perlu adanya peredaman kebutuhan terhadap dollar.
Cara lain yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga supaya laju perekonomian nasional Indonesia tetap pada jalurnya atau on the track adalah pemerintah telah memiliki instrumen dalam bentuk devisa akan hasil ekspor yang ingin ditempatkan di dalam negeri.
Instrumen dalam bentuk devisa hasil ekspor tersebut dinilai relatif terkendali, meski begitu pemerintah tetap menginginkan adanya impor konsumtif dapat ditahan dulu dalam situasi seperti sekarang ini.
Sebenarnya bukan hanya pemerintah saja, melainkan seluruh pihak juga memiliki kewajiban yang sama untuk bisa menahan diri dan melakukan deskalasi dan menjaga kestabilan regional untuk mengurangi dampak ketidakpastian ekonomi global akibat adanya konflik antara Iran dengan Israel.
Konflik tersebut tentunya bisa saja mendatangkan dampak yang cukup besar pada ekonomi global, khususnya pada mereka yang terkait dengan minyak. Sehingga peningkatan akan freight cost tersebut menjadi salah satu hal yang penting untuk dimitigasi seoptimal mungkin.
Saat ini, nyatanya perekonomian di Indonesia tetap menunjukkan angka pertumbuhan yang sangat solid sebesar lima persen dengan inflasi yang terkontrol pada rentang 2,5 persen, plus minus satu persen. Neraca perdagangan nasional juga masih dalam kondisi yang surplus serta cadangan devisa negara masih kuat, yakni pada angka 136 miliar dollar AS.
Akibat berbagai macam langkah dan kebijakan serta strategi dari Pemerintah RI seperti bauran fiskal dan moneter, menjaga stabilitas nilai tukar, menjaga APBN dan memonitor kenaikan logistik serta kenaikan harga minyak, hal tersebut terbukti sangat efektif menjadikan ekonomi Indonesia tetap dalam jalurnya atau on the track meski di tengah kondisi konflik atau peran antara Iran dengan Israel.
*) Yayasan Satu Kawan Sejuta Sahabat