Oleh : Junika Karmila)*
Radikalisme menjadi sorotan utama di Indonesia yang merupakan sebuah negara yang kaya akan keberagaman. Radikalisme dapat diartikan sebagai pandangan atau tindakan yang ekstrem, seringkali berpotensi mengancam keamanan dan kesejahteraan masyarakat. Di Indonesia, radikalisme seringkali terkait dengan isu-isu agama, meskipun juga dapat muncul dari konteks politik dan sosial. Beberapa akar permasalahan radikalisme melibatkan ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan ketidakpastian identitas.
Akar permasalahan dari radikalisme yakni adanya kesenjangan sosial dan ekonomi dapat menciptakan ketidakpuasan di kalangan masyarakat, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal untuk merekrut simpatisan. Selain itu, pendidikan yang tidak merata dapat menjadi salah satu penyebab radikalisme. Kurikulum yang tidak mempromosikan toleransi dan pemahaman antaragama dapat meningkatkan risiko munculnya pemikiran ekstrem.
Terdapat beberapa dampak dari radikalisme yakni menjadi ancaman serius terhadap keamanan nasional. Tindakan terorisme dan upaya menggulingkan pemerintah adalah beberapa bentuk ancaman yang dapat timbul dari radikalisme.
Selanjutnya, radikalisme dapat memperkuat polarisasi sosial di masyarakat, memecah belah hubungan antarwarga, dan menciptakan ketidakharmonisan serta merusak citra negara yang tentunya merusak citra Indonesia di mata dunia.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Komjen Rycko Amelza Dahniel mengatakan ada tiga kelompok yang rentan terpapar radikalisme berdasarkan riset BNPT 2023. Ketiga kelompok tersebut adalah wanita, anak-anak, dan remaja usia 11-26 tahun serta yang aktif di internet.
Hal tersebut diperkuat dengan penelitian indeks potensi radikalisme, bahwa potensi terpapar lebih tinggi pada wanita, generasi muda, khususnya Gen Z umur 11-26 tahun dan mereka yang aktif di internet. Rycko menerangkan kelompok-kelompok radikal kini sudah mengubah modus perekrutan dan pendekatan. Mereka, kata Rycko, mulai masuk ke ranah politik dan melakukan pendekatan dengan cara lebih lembut.
Salah satu elemen kunci dalam penyebaran paham radikalisme dan ancaman terorisme adalah indoktrinasi. Pemutusan mata rantai indoktrinasi terhadap masyarakat yang menjadi sasaran kaderisasi kelompok teror sangat penting. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia (BNPT RI) dinilai telah berhasil memutus mata rantai indoktrinasi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang menciptakan situasi nihil aksi terorisme di Tanah Air sepanjang 2023.
Guru Besar Departemen Kriminologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Prof. Adrianus Eliasta Meliala mengatakan, ada banyak upaya yang telah dilakukan BNPT untuk membendung laju indoktrinasi perekrutan anggota baru.
Upaya membendung indoktrinasi dilakukan BNPT secara masif melalui berbagai strategi, baik bersifat online maupun offline. Menurut Adrianus, upaya ini menjadi salah satu aspek dalam 2 hal pokok yang berdampak besar pada pencapaian nihil aksi teror ini.
Dijelaskan Adrianus, 2 hal pokok tersebut adalah, pertama, tindakan penegakan hukum termasuk penangkapan, penyitaan, dan aneka macam langkah tegas terhadap mereka yang melakukan kegiatan teror. Kemudian yang kedua melakukan pemotongan sumber-sumber yang bisa menggerakkan kegiatan teror, termasuk pendanaan dan indoktrinasi via transmisi ideologi kekerasan.
Adrianus juga menggarisbawahi upaya deradikalisasi yang dilakukan BNPT. Menurutnya, deradikalisasi ini masih menjadi salah satu hipotesis yang terus menerus dikejar. Dia mendorong agar seluruh praktisi yang ada di BNPT semakin berusaha agar hasil dari segala upayanya dapat terkonfirmasi.
Hal senada terkait penanggulangan radikalisme yakni sosialisasi pemerintah di elemen masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD yang menekankan tidak boleh ada radikalisme di Indonesia.
Mahfud juga menilai keislaman dan ke-Indonesiaan harus menyatu agar terwujud sikap nasionalisme dan cinta tanah air. Menurutnya, Indonesia mengakui Islam bagian dari sejarah perjuangan bangsa. Namun, tidak boleh ada inklusivisme atau merasa ingin diistimewakan dan tidak boleh ada radikalisme.
Dijelaskan olehnya, nasionalisme Islam itu sama atau menjadi satu dengan nasionalisme Indonesia. Sehingga kaum muslimin di Indonesia harus mencintai dan merawat Indonesia bersama seluruh warga negara yang lain yang beragama lain dalam konteks kebhinekaan dan kebersamaan.
Menko Polhukam mengaku melihat ada gejala-gejala radikalisme dengan mengatakan Islam itu tidak cocok dengan Indonesia. Sebab, bangsa Indonesia ini didirikan oleh ulama-ulama Islam bersama tokoh-tokoh bangsa yang lain, sehingga harus Indonesia ini dijaga keutuhannya.
Dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh pemerintah, upaya untuk menanggulangi radikalisme menjadi suatu keharusan demi menjaga keamanan dan stabilitas nasional.
Harapannya, dengan kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang aman, inklusif, dan penuh toleransi. Upaya pencegahan dan penanggulangan radikalisme tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, melainkan juga tanggung jawab bersama bagi seluruh elemen masyarakat.
)* Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nasional