Oleh : Clara Diah Wulandari)*
Masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang telah dimulai sejak 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024, menandai dimulainya pertarungan ide dan visi politik di panggung demokrasi Indonesia. Dalam momentum ini, Alat Peraga Kampanye (APK) menjadi elemen yang tidak dapat diabaikan.
Dari spanduk meriah hingga umbu-umbul yang mencolok, APK menjadi sarana utama bagi calon legislatif, calon presiden, dan calon wakil presiden untuk menjangkau pemilih potensial.
Dalam upaya menjaga integritas kampanye dan memberikan landasan hukum yang jelas, pemasangan APK telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023.
Namun, pada Pemilu 2024, terjadi perubahan signifikan dalam regulasi tersebut. Reklame, spanduk, dan umbu-umbul tidak lagi terikat oleh aturan ukuran tertentu, memberikan kebebasan lebih kepada tim kampanye untuk mengekspresikan ide-ide mereka dengan cara yang lebih kreatif.
Meski demikian, kebebasan ini tidak berarti tanpa batas. Sejumlah tempat strategis masih dijauhi oleh APK, seperti tempat ibadah, rumah sakit, institusi pendidikan, gedung milik pemerintah, fasilitas publik, dan halaman rumah tanpa izin pemilik. Larangan tersebut diarahkan untuk mencegah gangguan terhadap ketertiban umum dan memberikan penghormatan terhadap ruang-ruang yang dianggap sakral dan universal.
Dalam pandangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), tidak hanya tempat-tempat strategis yang harus terhindar dari penyebaran APK. Transportasi publik, yang merupakan sarana bersama bagi masyarakat, juga dimasukkan dalam daftar larangan.
Sebagai simbol angkutan umum berplat kuning, TransJakarta dikecualikan dari tata cara pemasangan APK, sesuai dengan pengungkapan Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa Bus TransJakarta, dengan identifikasi plat kuningnya, termasuk dalam kategori yang tidak diperbolehkan untuk dipasangi APK, sejalan dengan regulasi yang berlaku.
Pendekatan Bawaslu dalam menegakkan aturan ini juga mencakup sosialisasi hingga tingkat daerah. Bagja menegaskan bahwa transportasi publik adalah milik bersama dan segala aktivitas kampanye harus menghormati kenyamanan publik.
Fasilitas publik tidak boleh digunakan, misalnya angkot (angkutan kota) tidak boleh. Aturan ini sejalan dengan semangat menjaga kesakralan ruang publik dan memberikan pilihan kreatif bagi calon-calon legislatif dan presiden-wakil presiden untuk tetap terhubung dengan pemilih.
Namun, seperti dalam setiap regulasi, terdapat penilaian berbeda terhadap pelaksanaannya. Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap tindakan Dinas Perhubungan (Dishub) Kabupaten Purwakarta dan Kota Bogor, Jawa Barat, yang melarang pemasangan APK di angkutan umum atau angkot.
Todung Mulya Lubis, Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, menilai larangan tersebut sebagai ancaman dan mendesak agar imbauan dan larangan Dishub tersebut dibatalkan. Lubis menyatakan bahwa praktik-praktik oligarki seperti ini harus ditebas habis.
Dishub, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut, memberikan klarifikasi melalui surat edaran pada 30 November 2023. Mereka berdalih bahwa pelarangan tersebut diambil untuk menjaga kondusifitas, keamanan, ketertiban, dan kenyamanan penumpang. Surat edaran tersebut juga mencatat bahwa keputusan ini merupakan hasil rapat dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, dan partai politik peserta Pemilu.
Mengamati kedua perspektif, penting untuk menekankan bahwa larangan ini tidak hanya bersifat pembatasan, melainkan juga merupakan usaha untuk menjaga etika dan tata kelola kampanye. Transportasi publik menjadi wadah bagi semua lapisan masyarakat, dan larangan ini bertujuan untuk memastikan bahwa kegiatan kampanye tidak mengganggu kenyamanan dan keamanan penumpang.
Melihat lebih dalam, Dishub mencoba untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan politik dan kepentingan umum. Surat edaran tersebut menunjukkan bahwa keputusan tersebut bukan semata-mata kebijakan unilateral, melainkan hasil dari diskusi dan koordinasi dengan pihak terkait, termasuk KPU, Bawaslu, dan partai politik. Ini mencerminkan semangat kolaboratif dalam upaya menjalankan proses demokratis yang bersih dan teratur.
Namun, melihat ke depan, ada tantangan yang perlu diatasi. Pengawasan terhadap pelaksanaan aturan ini menjadi kunci untuk memastikan kepatuhan dan keadilan dalam kampanye. Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu memiliki peran sentral dalam memastikan bahwa larangan-larangan ini tidak hanya berupa norma tertulis, melainkan juga dijunjung tinggi dalam praktiknya.
Pada tingkat yang lebih luas, penting untuk menggali solusi kreatif yang memungkinkan para calon untuk tetap terhubung dengan pemilih tanpa mengabaikan etika dan aturan. Menyewa mobil branding dan menempel stiker menjadi salah satu alternatif yang diusulkan oleh Rahmat Bagja dari Bawaslu. Ini memberikan ruang bagi inovasi dalam menyampaikan pesan politik tanpa harus melanggar aturan yang sudah ditetapkan.
Di tengah polemik ini, perlu ditekankan bahwa aturan dan larangan ini tidak hanya untuk mengekang kreativitas politik. Sebaliknya, mereka menjadi instrumen untuk menciptakan panggung yang adil, terbuka, dan bebas dari gangguan yang dapat mengarah pada polarisasi masyarakat. Pemilu 2024 bukan hanya sekadar kontes kekuatan politik, melainkan juga kesempatan untuk membangun demokrasi yang matang dan bertanggung jawab.
Larangan pemasangan APK di transportasi publik menciptakan ruang untuk perdebatan dan refleksi, mengajak kita semua untuk berpikir lebih jauh tentang arti demokrasi yang sehat. Dengan pemahaman dan keterlibatan aktif, mari kita bangun masa depan politik yang menghormati aturan dan memberikan ruang bagi ide dan aspirasi masyarakat.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca Nusantara