Oleh: Aditya Pramana )*
Pelaksanaan kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 untuk presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD Provinsi serta Kabupaten/kota, dan DPD RI akan dilaksanakan pada 28 November 2023 hingga 10 Februari 2024. Untuk itu, para peserta Pemilu harus segera mendaftarkan susunan pelaksana dan tim kampanye.
Tidak hanya itu, pada Pemilu 2024, masing-masing peserta Pemilu perlu menyertakan jumlah media sosial yang digunakan, yaitu sebanyak 20 akun untuk setiap jenis aplikasi. Dengan isi konten berupa visi, misi, program, atau citra diri peserta Pemilu.
Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, Hedi Ardia mengatakan, seluruh peserta Pemilu wajib menggunakan media sosial dengan sebaiknya-baiknya guna mengenalkan calon dan pendidikan politik kepada para calon pemilihnya. Dengan demikian, diharapkan tidak ada penyalahgunaan media sosial untuk menjatuhkan lawan politiknya dengan menggunakan isu SARA, penyebaran hoax, atau politik kebencian.
Namun tidak dapat dipungkiri penyebaran disinformasi di media sosial masih banyak ditemui menjelang gelaran Pemilu 2024. Ujaran kebencian, diskriminasi, disinformasi, trolling dan doxing hanya sebagian dari beragam jenis serangan daring lainnya selama Pemilu.
Targetnya tidak hanya kelompok rentan, namun juga penyelenggara Pemilu, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), jurnalis, dan peserta Pemilu. Tantangan mengamankan media sosial pun semakin bertambah besar dengan hadirnya kecerdasan buatan (AI). Sehingga diperlukan komitmen bersama atau multipihak untuk membangun narasi konstruktif dan inklusif dalam pelaksanaan kampanye Pemilu 2024.
Undang-Undang (UU) Pemilu telah mengatur norma mengenai larangan menggunakan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dalam kampanye Pemilu, berikut dengan ancaman pidananya. Namun, tidak ada norma spesifik mengenai disinformasi Pemilu. Pasal 280 hanya menargetkan pelaksana kampanye, peserta Pemilu, dan tim kampanye.
Di tengah ketidakcukupan regulasi mengenai kampanye online dan media sosial, diperlukan adanya kode etik kampanye di media sosial yang mengikat peserta Pemilu dan platform media sosial. Ada tiga poin utama yang perlu menjadi komitmen yakni, pertama, menerapkan mekanisme pelaporan dan respons yang mudah digunakan untuk moderasi konten terkait Pemilu 2024. Kedua, menyediakan mekanisme moderasi konten yang melibatkan masyarakat sipil. Ketiga, menerbitkan laporan akuntabilitas moderasi konten selama tahapan Pemilu 2024. Selain itu, platform juga menjadi pihak yang harus diatur, karena platform lah yang dapat melakukan moderasi konten, dan kenyataan bahwa berbagai serangan daring terjadi di platform media sosial.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menilai isu SARA masih menjadi isu sensitif yang masuk dalam Indeks Kerawanan Pemilu, di samping isu lain, seperti politik uang dan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Dalam pernyataannya, anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, mengingatkan bahwa politisasi SARA merupakan kerawanan yang perlu diwaspadai. Sebab, politisasi SARA kerap dijadikan komoditas politik di masa kampanye pemilihan umum, sebagai contoh adalah yang terjadi pada pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Peristiwa serupa tidak boleh terulang kembali pada Pemilu 2024.
Dari hasil kajian Bawaslu didapatkan, ada enam provinsi yang masuk kategori berpotensi memiliki kerawanan tinggi di aspek politisasi SARA. Keenam provinsi itu adalah DKI Jakarta, Maluku Utara, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua Barat, Jawa Barat, dan Kalimantan Barat. Sementara di tingkat kabupaten/kota, ada 20 daerah yang masuk kategori tingkat kerawanan tinggi di isu politisasi SARA. Dari jumlah itu, lima daerah dengan kerawanan tertinggi adalah Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Jayawijaya, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Puncak, dan Kabupaten Kepulauan Seribu.
Indeks kerawanan di isu politisasi SARA ini dibangun dari empat indikator, yakni kampanye bermuatan SARA di media sosial, kampanye bermuatan SARA di tempat umum, penolakan calon berbasis SARA, dan kekerasan berbasis SARA. Dari empat indikator yang dipakai dalam Indeks Kerawanan Pemilu, aspek agama menjadi isu dominan yang melatarbelakangi isu politisasi SARA.
Di tingkat provinsi, misalnya, sebanyak 86 persen menunjukkan aspek agama mendominasi isu politisasi SARA pada indikator kampanye bermuatan SARA di media sosial. Angka ini relatif paling tinggi dibandingkan dengan indikator lainnya. Sementara aspek etnis justru lebih besar di tingkat provinsi pada indikator penolakan calon yang berbasis SARA. Di indikator ini sebanyak 75 persen disumbang faktor etnis, sedangkan sisanya, 25 persen, disumbang dari isu agama.
Baik agama maupun etnis memang jadi pemicu yang mudah melahirkan ketegangan. Kedua isu itu memang sangat mudah diprovokasi karena merupakan bagian dari identitas kolektif yang mampu menggerakkan suatu kelompok untuk berhadapan dengan kelompok lain. Oleh sebab itu, potensi pelaku isu politisasi SARA sebagian besar adalah para simpatisan dan pendukung yang dilakukan melalui media sosial. Fanatisme kepada sosok yang didukungnya bisa menjadi landasan bagi mereka melakukan kampanye dengan menggunakan isu SARA.
Demi mewujudkan pelaksanaan kampanye Pemilu 2024 yang damai dan tenang diperlukan kerjasama dan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, penyelenggara pemilu, partai politik, media, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan masyarakat secara umum. Partisipasi aktif seluruh elemen masyarakat dibutuhkan untuk mengawasi pelaksanaan kampanye agar tidak keluar dari batasan yang tertuang dalam UU dan kode etik kampanye. Dengan demikian dapat tercipta lingkungan yang mendukung proses demokratis Pemilu 2024 yang sehat dan bermartabat.
)* Penulis merupakan Mahasiswa Hukum Universitas Muria Kudus