Pemilu tahun 2024 di Indonesia dianggap sebagai momen krusial yang akan menentukan arah demokrasi di negara tersebut. Pendapat ini disampaikan dalam Diskusi Publik dengan tema “Kualitas Demokrasi dan Kepemimpinan Indonesia Akan Diuji Melalui Netralitas Pemilu 2024” oleh Gabungan Koalisi Masyarakat Sipil (GKMS) pada tanggal 28 November 2023.
Diskusi tersebut dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Co Captain Timnas Anies – Muhaimin, Al Muzammil Yusuf, Jubir TPN Ganjar – Mahfud, Aiman Witjaksono, Ketua DKPP Heddy Lugito, Pemantau JPPR Zaki, Peneliti Formappi Lucius Karus, serta perwakilan Aliansi Penyelamat Konstitusi/aktivis 98, Azwar Furgudyqma.
Co Captain Timnas Anies – Muhaimin, Al Muzammil Yusuf, menegaskan bahwa netralitas pemilu sangat krusial karena akan mempengaruhi sejauh mana keadilan dalam proses pemilihan, yang harus bebas dari intervensi pihak-pihak tertentu.
Dia menekankan perlunya memastikan bahwa pemilu berlangsung tanpa intimidasi atau tekanan, memberikan kesempatan yang setara kepada semua partai politik dan calon.
”Gerakan masyarakat pasti inginkan netralitas dalam pemilu, baik calon – calonnya maupun prosesnya,” katanya.
”Seluruh capres, seluruh partai, seluruh aparatur harus bersama – sama mengajak rakyat untuk berikan suaranya secara gembira tanpa ada intimidasi darimanapun,” lanjutnya.
Dalam konteks ini, Jubir TPN Ganjar – Mahfud, Aiman Witjaksono, mengungkapkan keprihatinannya terkait pelanggaran berat oleh Mahkamah Konstitusi yang seharusnya mendorong netralitas dari berbagai elemen. Ia menyerukan agar netralitas bukan hanya menjadi slogan dan mengingatkan pentingnya menjaga demokrasi dan netralitas pemilu tahun 2024.
”Apa yang dibicarakan dalam diskusi netralitas ini merupakan, terus menjadi pembicaraan hangat. Di DPR RI bahkan sudah 2 komisi yang membuat panja untuk menilai netralitas ini,” katanya.
”Netralitas jangan hanya jadi Slogan. Pertanyaannya mengapa di pemilu kali ini begitu kencang tentang netralitas? Berawal saat terjadinya pelanggaran berat di Mahkamah Konstitusi (MK),” sambungnya.
Namun, Peneliti Formappi Lucius Karus mengkritik kinerja Bawaslu selama tahapan pemilu. Menurutnya, Bawaslu terlalu lembek dan hanya berperan sebagai pengamat, bukan pengawas. Karus menegaskan bahwa netralitas bukan hanya sekadar slogan, dan penyelenggara pemilu harus memiliki kewibawaan dalam mengawasi jalannya proses pemilu.
”Terjadi masalah serius dalam masalah sosialisasi pemilu dimana penyelenggara pemilu menutupi peserta pemilu dengan dalih kerahadiaan peserta pemilu sehingga menjadi Masalah etik serius bagi publik,” ungkapnya.
”Sepanjang masa sosialisasi pemilu ini intimidatif sehingga sulit untuk berjalan koridor demokrasi. Penyelenggara pemilu harus adil tidak boleh berpihak kepada salah satu paslon,” lanjutnya.
Secara prinsip, Karus menyoroti bahwa demokrasi adalah tentang kebebasan, terutama kebebasan berbicara. Jika kebebasan tersebut terintimidasi, demokrasi di Indonesia bisa terancam dan tidak lagi dapat dianggap sebagai demokrasi sejati. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu diingatkan untuk menjaga integritas demokrasi dengan berwibawa dalam mengawal proses pemilu.
Sementara itu, Perwakilan Aliansi Penyelamat Konstitusi/Aktivis 98, Azwar Furgudyqma menyoroti pentingnya netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI, dan Polri dalam Pemilu 2024. Namun, ia mencatat adanya penurunan spanduk di Bali dan Sumatera Utara, menunjukkan adanya pelanggaran terhadap prinsip netralitas tersebut.
”ASN, TNI- Polri harus netral dalam Pemilu 2024, namun kenyataannya ada penurunan spanduk di Bali dan Sumatera Utara,” katanya.
Azwar Furgudyqma menyoroti pelanggaran yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait penerimaan Gibran sebagai calon Wakil Presiden (Cawapres). Furgudyqma menegaskan bahwa KPU menggunakan Peraturan KPU (PKPU) yang sudah usang, menunjukkan bahwa langkah ini melanggar aturan yang berlaku.
”Telah terjadi pelanggaran oleh KPU karena mereka telah menerina Gibran sebagai Cawapres dengan memakai PKPU yang lama. Mengakali konstitusi untuk kepentingan pribadi. Seolah – olah kita demokratis hanya hanya sebagai etalase,” ujarnya.
Furgudyqma mengungkapkan keprihatinannya terkait dugaan upaya manipulasi konstitusi demi kepentingan pribadi. Ia menyoroti kesan seolah-olah Indonesia berada dalam sistem demokratis, padahal diakui bahwa hal tersebut hanya merupakan tampilan luar tanpa substansi yang sebenarnya.