Oleh : Abdul Karim )*
Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 diperkirakan masih akan dibayangi oleh penggunaan politik identitas. Masyarakat pun diminta waspada karena penggunaan politik tersebut dikhawatirkan dapat menciptakan polarisasi hingga perpecahan bangsa.
Beberapa waktu yang lalu, Persaudaraan Alumni 212 dan GNPF Ulama melakukan ijtima ulama dan mendukung pasangan Capres tertentu. Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Jaringan Alumni Perguruan Tinggi Indonesia (JAPTI), A. Pandu Wijonarko, mengeluarkan kritik pedas terkait keputusan tersebut. Melalui keterangannya pada hari yang sama, Pandu menyatakan bahwa undangan yang diberikan kepada pasangan Anies-Muhaimin tidak patut dilakukan.
Menurutnya, Persaudaraan Alumni 212 dan GNPF Ulama tidak relevan dalam mengatasnamakan umat Islam, terutama dengan menggunakan diksi “ijtima ulama” yang memiliki makna sakral dalam konteks Islam.
Selain itu, Pandu menambahkan bahwa penggunaan istilah “ijtima ulama” dalam undangan tersebut terlihat lebih sebagai upaya untuk mendukung secara langsung calon presiden tertentu secara praktis. Hal ini dinilai tidak sejalan dengan semangat pemeliharaan nilai-nilai luhur agama dalam rangka memperkuat persatuan bangsa.
Pandu lebih lanjut menegaskan bahwa PA 212 dan GNPF Ulama tidak dapat dianggap sebagai representasi dari seluruh umat Islam Indonesia. Penggunaan nama “ijtima ulama” dianggapnya sebagai upaya untuk memanfaatkan agama dan umat sebagai alat politik semata. Pandu dan JAPTI Indonesia menyampaikan keprihatinan mereka terhadap kemungkinan politisasi agama yang dapat merugikan semangat persatuan dan harmoni dalam masyarakat Indonesia.
Pandu mengungkapkan kekhawatirannya bahwa langkah ini mungkin merupakan usaha untuk memanfaatkan agama dan umat sebagai sarana politik semata. Dia menyampaikan keprihatinan bahwa masyarakat Indonesia, yang telah mengalami trauma signifikan akibat politisasi agama dalam arena politik, mungkin tidak melihat relevansi acara yang diselenggarakan oleh Persaudaraan Alumni 212 dan Gerakan Nasional Pembela Fatwa (GNPF) Ulama.
Pandu menyatakan pendapatnya bahwa agenda yang diusung oleh kedua organisasi tersebut tidaklah relevan ketika tujuan bersama adalah menciptakan pemilu yang berjalan dalam suasana damai dan harmonis.
Pandu Wijonarko JAPTI Indonesia menyatakan JAPTI Indonesia khawatir terkait dengan potensi dimanfaatkannya nilai-nilai agama yang mulia dan luhur sebagai alat untuk melegitimasi konflik antarumat beragama, tindakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas, dan kemungkinan dampak negatif lainnya.
Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan yang nyata terhadap kemungkinan kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh politik identitas jika tidak diatasi dengan bijaksana. Politisasi agama, yang pada dasarnya adalah bentuk dari politik identitas, dapat merusak landasan demokrasi yang dibangun untuk memastikan keadilan, persamaan hak, dan partisipasi masyarakat dalam kehidupan politik.
Pernyataan Presiden Joko Widodo sehubungan dengan pemilu tahun 2024 menjadi penegasan atas kekhawatiran terhadap politik identitas yang dapat merusak demokrasi. Dalam pesannya, Presiden menekankan bahwa tahapan Pemilu 2024 yang sedang disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus didukung sepenuhnya oleh semua pihak. Lebih lanjut, ia memperingatkan agar tidak ada lagi politik identitas dan politisasi agama.
Presiden menegaskan pentingnya mendukung seluruh tahapan Pemilu yang sedang disiapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ia memperingatkan agar menjauhkan Pemilu dari praktik politik identitas serta politisasi agama.
Presiden juga menyoroti pentingnya menghindari polarisasi sosial dalam Pemilu 2024. Menurutnya, demokrasi Indonesia harus menunjukkan kedewasaannya, dan konsolidasi nasional harus diperkuat. Presiden menyampaikan terima kasih kepada para tokoh agama, masyarakat, dan kebudayaan yang telah berkontribusi besar dalam memperkuat fondasi kebangsaan serta merawat persatuan dan kesatuan nasional.
Presiden menekankan perlunya perkembangan kedewasaan dalam sistem demokrasi kita. Ia menggarisbawahi pentingnya memperkuat konsolidasi nasional sebagai langkah menuju kedewasaan demokrasi. Presiden juga mengucapkan terima kasih kepada ulama, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan tokoh kebudayaan yang telah memberikan kontribusi besar dalam memperkuat pondasi kebangsaan serta merawat persatuan dan kesatuan nasional.
Melihat pernyataan Presiden dan pandangan JAPTI Indonesia, masyarakat diminta untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap potensi politik identitas yang dapat mengancam demokrasi. Polarisasi dalam politik identitas, khususnya yang melibatkan agama, dapat menjadi pemicu konflik dan memecah belah masyarakat.
Pentingnya pemilu bebas dari politik identitas menjadi fokus utama dalam mewujudkan demokrasi yang sehat. Masyarakat dihimbau untuk memilih pemimpin berdasarkan kapasitas dan program, bukan karena identitas agama atau kelompok tertentu. Ini adalah langkah krusial dalam membangun fondasi demokrasi yang kuat dan berkelanjutan.
Dalam menghadapi Pemilu 2024, penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk berkomitmen dalam menjaga demokrasi dari ancaman politik identitas. Politisasi agama dan polarisasi sosial hanya akan merugikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Semua pihak, termasuk lembaga negara, tokoh agama, dan masyarakat, perlu bekerja sama untuk menciptakan pemilu yang bebas dari politik identitas.
Dengan demikian, Indonesia dapat membangun demokrasi yang sehat, kuat, dan berkelanjutan. Kepedulian terhadap nasib bangsa harus melampaui perbedaan identitas dan keberagaman.
Pemilu 2024 dapat menjadi momen penting untuk membuktikan bahwa Indonesia mampu mengatasi tantangan politik identitas dan menuju arah yang lebih baik, menjaga keutuhan dan persatuan bangsa. Semua pihak memiliki peran penting dalam menjaga nilai-nilai demokrasi dan memastikan bahwa pemilu menjadi wahana untuk mengukir masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.
)* Penulis adalah kontributor Ruang Baca institute