Pakar menyoroti peran besar Indonesia dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Indonesia dinilai memiliki nilai di mata dunia dalam penyelesaian konflik berbagai negara.
Dalam sebuah webinar nasional bertajuk “Konflik Palestina-Israel: Peluang Penyelesaian” pada Jumat, 17 November 2023, mantan Dubes RI untuk Ukraina, Yuddy Krisnandi, mengungkapkan bahwa dunia menantikan tindakan nyata dari Indonesia dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina.
Krisnandi menekankan bahwa Indonesia, dengan kekuatan dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI), memiliki daya tawar yang lebih besar daripada negara-negara Arab, sehingga peran Indonesia sangat diharapkan dalam penyelesaian konflik tersebut.
“Negara-negara OKI seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia, dalam menyuarakan kepentingan umat Islam,” ujar Yuddy.
Prof Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, juga berbicara dalam webinar tersebut, mengamati konflik dari dua dimensi. Dia mencatat bahwa klaim tanah oleh kaum zionis menjadi pemicu konflik dari sisi teologi, dan dalam aspek politik, Muhammadiyah berpendapat bahwa solusi politik, khususnya “two-state solution,” adalah langkah yang lebih logis untuk menyelesaikan perang antara kedua bangsa.
“Dan two-state solution atau solusi dua negara adalah solusi yang paling logis bagi penyelesaian konflik kedua bangsa, karena memang menurut bangsa Israel juga punya hak tinggal di wilayah itu, hanya saja selama ini mereka melakukan okupasi terhadap tanah Palestina, yang dinilai sebagai penjajahan,” ungkap Mu’ti.
Di sisi lain, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana, menyatakan bahwa Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, memenuhi syarat sebagai penjahat perang atas serangan terhadap Gaza, Palestina. Meski begitu, tantangan muncul karena Israel bukan anggota Statuta Roma, dan proses pengadilan mungkin hanya bisa dilakukan melalui resolusi Dewan Keamanan PBB.
“Tapi, nantinya pasti AS akan memveto hal itu di DK-PBB, jadi badan dunia itu sudah seperti ‘macan ompong’ sebetulnya,” ungkapnya.
Prof Imron Cotan, Pemerhati Isu-isu Strategis dan Global, membedakan antara orang Yahudi dan gerakan zionisme. Dia mengecam tindakan kaum zionis yang berkuasa di pemerintahan Israel, terutama menyoroti pernyataan kontroversial Amihay Eliyahu terkait bom nuklir di Gaza, yang dianggap melanggar tabu nuklir setelah peristiwa Hiroshima dan Nagasaki.
“Pernyataan Eliyahu tersebut sangat disesalkan berbagai kalangan, karena paska bom Hiroshima dan Nagasaki, dunia berpedoman pada tabu nuklir (nuclear taboo), yang berpandangan bahwa walau negara-negara tertentu diperbolehkan memiliki senjata nuklir, tetapi secara moral tak diperkenankan menggunakannya,” ujar Imron.
Dalam konteks perlawanan, kekuatan Palestina dianggap berhak membebaskan diri dari penjajahan Israel. Namun, negara-negara besar, terutama AS, terkesan hanya mengakui hak Israel untuk membela diri setelah serangan Hamas pada 7 Oktober, tanpa memperhatikan penindasan yang telah dialami bangsa Palestina selama 75 tahun.
Hery Sucipto, Direktur Eksekutif Moya Institute, mengekspresikan keprihatinan dan kemarahan mendalam atas tragedi kemanusiaan di Gaza, dengan lebih dari 50 persen korban serangan Israel disebutkan adalah bayi dan anak-anak, mencapai jumlah terbesar sejak Intifadah tahun 2000.
“Karena itu, Moya Institute berinisiatif menggelar webinar ini untuk menganalisis perkembangan yang terjadi, membaca kemungkinan potensi penyelesaian, termasuk mengkaji kemungkinan langkah-langkah yang bisa diambil Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam upaya menciptakan perdamaian antara Palestina-Israel,” pungkasnya.
Seperti diketahui, Moya Institute mengambil inisiatif untuk menggelar webinar dengan tujuan menganalisis perkembangan konflik, membaca potensi penyelesaian, dan mengkaji kemungkinan langkah-langkah yang bisa diambil Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam menciptakan perdamaian antara Palestina-Israel.