Jakarta- Mantan Dubes RI untuk Ukraina yang juga Politisi Partai Golkar Yuddy Chrisnandi menyatakan, aksi nyata Indonesia dalam menyelesaikan perang Israel – Palestina ditunggu dunia. Hal ini dikarenakan Organisasi Konferensi Islam (OKI) tidak memiliki daya tawar sebesar Indonesia.
“Arab Saudi dan Uni Emirat Arab itu tak memiliki daya tawar sebesar Indonesia, dalam menyuarakan kepentingan umat Islam,” kata Yuddy dalam Webinar Moya Institute bertajuk “Konflik Palestina-Israel : Peluang Penyelesaian”, Jumat (17/11).
Ditambahkannya, jika seluruh umat Islam di negara-negara Arab dikumpulkan menjadi satu, tetapi belum bisa menyamai jumlah umat Islam di Indonesia. Portofolio ini yang membuat peran Indonesia dinantikan dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina, dibandingkan negara-negara Arab yang tidak jelas sikapnya.
Pada kesempatan sama, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof. Abdul Mu’ti memandang konflik Israel-Palestina dari beberapa dimensi. Pertama adalah dimensi teologi. Menurutnya konflik ini disebabkan oleh klaim teologis kaum zionis yang memandang tanah Palestina itu sebagai tanah nenek moyangnya. Dimensi kedua yakni politik juga kental dalam perang Israel-Palestina. Muhammadiyah menilai solusi politik lebih cocok untuk menyelesaikan perang tersebut.
“Solusi dua negara (Two-State Solution) adalah solusi yang paling logis bagi penyelesaian konflik kedua bangsa, karena memang menurut bangsa Israel juga punya hak tinggal di wilayah itu, hanya saja selama ini mereka melakukan okupasi terhadap tanah Palestina, yang dinilai sebagai penjajahan,” ungkap Mu’ti.
Sementara itu, Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, Prof. Dr. Hikmahanto Juwana mengatakan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sudah memenuhi syarat sebagai penjahat perang atas tindakannya menyerang Gaza, Palestina.
Tapi yang menjadi persoalan adalah Israel bukan negara anggota terhadap Statuta Roma (1998), yang memungkinkan dia diadili oleh International Criminal Court (ICC). Tapi, bisa juga melalui mekanisme lain, yaitu resolusi Dewan Keamanan (DK-PBB) dengan mengeluarkan resolusi yang memandatkan ICC untuk mengadili para pemimpin Israel.
“Tapi, nantinya pasti AS akan memveto hal itu di DK-PBB, jadi badan dunia itu sudah seperti ‘macan ompong’ sebetulnya,” tegasnya.
Pembicara lainnya, Pemerhati Isu-isu Strategis dan Global, Prof Imron Cotan berpendapat ada perbedaan antara orang Yahudi dengan gerakan zionisme. Orang Yahudi secara umum baik, karena ada persamaan kaidah keagamaan dengan Islam. Sementara zionisme, adalah gerakan politik yang menginginkan terbentuknya negara Yahudi di tanah Palestina dan menolak berdirinya negara Palestina.
“Jadi tidak heran bila beberapa waktu lalu salah satu Menteri Israel, Amihay Eliyahu menyatakan bahwa sebaiknya bom nuklir dijatuhkan di Gaza”. Padahal korban di pihak Palestina sudah mencapai 12.000, separuh diantaranya bayi dan anak-anak.
Pernyataan Eliyahu disesalkan sejumlah kalangan, karena paska bom Hiroshima dan Nagasaki, dunia berpedoman pada tabu nuklir (nuclear taboo), yakni meskipun negara-negara tertentu diperbolehkan memiliki senjata nuklir, tetapi secara moral tidak diperbolehkan menggunakannya,” ujar Imron.
Sedangkan Direktur Eksekutif Moya Institute, Hery Sucipto mengutarakan keprihatinan dan kemarahan mendalam melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Terlebih 50 persen korban serangan Israel adalah bayi dan anak-anak. Dan ini merupakan jumlah korban terbesar sejak Intifadah tahun 2000.
“Moya Institute berinisiatif menggelar webinar ini untuk menganalisis perkembangan yang terjadi, membaca kemungkinan potensi penyelesaian, termasuk mengkaji kemungkinan langkah-langkah yang bisa diambil Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam upaya menciptakan perdamaian Palestina-Israel,” pungkasnya. [*]