Oleh: Reenee WA (Former Journalist/Writer/Social Politic Observer)
Indonesia akan menggelar pesta demokrasi, yakni Pemilihan Umun, yang puncaknya akan belangsung pada bulan Februari 2024 nanti. Pemilu 2024 diharapkan berlangsung dengan aman dan damai, bebas dari hoax, ujaran kebencian dan pemanfaatan politik identitas yang dapat menciptakan polarisasi dan perpecahan di masyarakat. Seluruh elemen masyarakat harus bekerjasama untuk menjadikan momen ini sebagai media pemersatu bangsa, karena akan memilih pemimpin-pemimpin terbaik yang pastinya mampu menjadi nahkoda nagi bangsa dna negara ini.
Berbagai pihakpun berupaya untuk mengajak segenap masyarakat untuk turut serta menjaga perdamaian jelang Pemilu. Titi Anggraini, sebagai Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menyatakan harapan pelaksanaan Pemilu 2024 yang aman, damai, dan bebas hoax atau informasi bohong, serta tanpa adanya kampanye hitam harus dibangun dari evaluasi secara komprehensif, pembelajaran yang diidentifikasi dan dimitigasi dengan baik dari praktik Pemilu 2019 maupun Pilkada 2020.
Hal tersebut lalu didekati dengan penyelesaian yang efektif dan efisien. Apalagi pada 2024, mayoritas pemilih, khususnya pemilih muda menggunakan media sosial sebagai instrumen utama dalam mencari informasi. Ini tentu akan meningkatkan risiko pelaksanaan kampanye di media sosial. Sehingga kemampuan mitigasi sejak awal akan menentukan strategi yang tepat untuk mengantisipasi penyebaran hoax dan membangun ekosistem kampanye yang lebih sehat. Dengan demikian pemilih tidak akan terpapar informasi yang justru dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan.
Selanjutnya menurut Titi, suara pemilih hanya satu, satu orang, satu suara, satu nilai, maka ketika terpapar informasi bohong atau hoax keputusan yang dibuat tidak akan kredibel dan membuat suara pemilih menjadi tidak bermakna. Padahal prinsip Pemilu yang demokratis salah satunya adalah membebaskan pemilih dari gangguan atau tekanan di dalam membuat pilihan. Dalam artian bahwa gangguan atau tekanan yang dimaksud tidak hanya soal intimidasi verbal, tetapi bisa berupa tekanan uang atau informasi bohong. Disinformasi atau fitnah memang dapat membawa dampak daya rusak yang amat besar.
Banyak dampak negatif yang muncul akibat hoaks, antara lain juga karena merusak integritas pemilu, mengganggu proses pemilu dengan menyebabkan kebingungan, konflik, dan juga ketidakpercayaan pada lembaga-lembaga penyelenggara pemilu. Bahkan hoaks yang tersebar luas dapat menyebabkan konflik fisik dan kerusuhan, terutama jika emosi berkobar di antara pendukung kandidat yang berbeda.
Pemilih muda, generasi milenial, generasi Z saat ini menggunakan media sosial sebagai instrumen utama untuk mencari informasi. Sementara itu, media sosial selama ini masih saja menjadi wadah yang paling banyak dimanfaatkan untuk menyebarkan berita dan informasi bohong.
Perlu menjadi catatan bagi kita bahwa penyebaran hoaks selama pemilu dapat menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses dan penyelenggara pemilu. Hoax mencoreng demokrasi di Indonesia, sehingga pemerintah melakukan berbagai upaya untuk meminimalisir penyebaran hoaks atau berita palsu agar pelaksanaan pemilu dapat berjalan dengan kondusif dan damai.
Untuk membendung potensi hoax yang membahayakan masyarakat, baik jelang dan selama Pemilu 2024 berlangsung, maka tidak bisa hanya mengandalkan Bawaslu, namun perlu kepedulian dan kerjasama seluruh elemen masyarakat, pemangku kepentingan, media massa, masyarakat sipil, pemantau pemilu, tokoh agama, tokoh masyarakat, terutama dalam mengantisipasi penyebaran hoax atau fitnah Pemilu. Selain itu, langkah preventif oleh Bawaslu masih harus lebih dioptimalkan lagi, meskipun saat ini upaya yang dilakukan sudah progresif dan proaktif. KPU juga harus menyediakan saluran informasi yang kredibel untuk mengisi ruang informasi pemilih, dengan berorientasi pada rekam jejak, gagasan, dan program.
Dalam menghadapi tahun politik seperti saat ini, diharapkan agar publik tidak memproduksi ataupun menyebarkan konten berita yang dapat memicu provokasi dan polarisasi di tengah masyarakat. Literasi mewaspadai hoax, ujaran kebencian, radikalisme dan ancaman-ancaman lain terhadap penyelenggaraan Pemilu, harus diintensifkan untuk membangun kesadaran masyarakat, mendorong dialog yang sehat, dan memastikan bahwa pemberitaan politik memajukan kepentingan bersama dan kestabilan demokrasi.
Sinergitas kementerian, Lembaga, instansi, ormas hingga pers, serta semua komponen mesyarakat sangat penting dalam mewujudkan pemilu yang damai. Dengan bekerja sama dan saling mendukung, maka dapat pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat, serta mengawasi jalannya pemilu. Masyarakat diharapkan agar dapat aktif berperan dalam mendukung pemilu yang aman dan damai, dengan membantu mencegah hoaks, ujaran kebencian, politik identitas selama pemilu.