Oleh : Naomi Leah Christine )*
Beberapa waktu terakhir beredar potongan video Presiden Jokowi yang berpidato bahasa mandarin secara fasih. Video Presiden Jokowi yang berpidato menggunakan bahasa mandarin itu merupakan hoax yang dibuat dengan teknologi deepfake. Keberadaan video tersebut menjadi pengingat bagi masyarakat untuk senantiasa mewaspadai penyebaran hoax dan deepfake jelang Pemilu yang dapat menciptakan keresahan masyarakat.
Dalam menghadapi Pemilu 2024, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia mengeluarkan peringatan serius terhadap potensi penyebaran deepfake AI (Artificial Intelligence) yang bisa merusak proses demokrasi dan memengaruhi opini publik.
Ancaman deepfake menjadi semakin nyata setelah video yang memperlihatkan Presiden Joko Widodo alias Jokowi berpidato dalam bahasa Mandarin beredar di media sosial, meskipun ternyata itu adalah hasil editan. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan, mengungkapkan kekhawatiran terhadap penggunaan canggih AI untuk menciptakan hoaks yang dapat menyesatkan masyarakat.
Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo, memperingatkan masyarakat tentang penyebaran deepfake AI menjelang Pemilu 2024. Hal ini menjadi perhatian serius setelah munculnya video yang menampilkan Presiden Joko Widodo berpidato dalam bahasa Mandarin, yang ternyata merupakan hasil manipulasi.
Dalam konteks ini, Abrijani Pangerapan memperingatkan tentang perkembangan penggunaan teknologi kecerdasan buatan dalam pembuatan hoaks. Dia menyoroti pentingnya mendapatkan informasi dari sumber yang dapat dipercaya sebagai upaya untuk menangkal penyebaran informasi palsu.
Menurutnya, cara efektif untuk melawan hoaks adalah dengan memastikan informasi diperoleh dari sumber yang memiliki reputasi terpercaya, karena berita yang signifikan selalu mendapat liputan oleh media terpercaya.
Ancaman deepfake semakin nyata dengan adanya video yang tampak sangat mirip dengan aslinya, dan kata-kata yang diucapkan pun memiliki kesamaan dengan video aslinya. Semuel Abrijani Pangerapan menekankan pentingnya tabayyun, atau pengujian informasi dari sumber yang dapat dipercaya.
Peningkatan penggunaan deepfake AI untuk kepentingan politik yang tidak jujur menjadi sebuah tantangan serius yang harus dihadapi dalam perhelatan Pemilu 2024.
Deepfake merupakan bentuk manipulasi berbahaya yang dapat mengecoh siapa pun. Teknologi AI digunakan untuk membuat foto, audio, dan video palsu yang terlihat sangat meyakinkan. Dalam konteks pemilihan umum, deepfake dapat digunakan untuk menyebarkan informasi palsu yang dapat memengaruhi hasil pemilu.
Sebagai contoh, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong, menyebut kasus penggunaan deepfake dalam pemilihan wali kota di Chicago, Amerika Serikat. Seorang kandidat terkena dampak buruk akibat video deepfake yang mengkritik polisi.
Usman Kansong menyoroti dampak negatif yang dialami oleh Vallas sebagai akibat dari penyebaran deepfake. Dia menegaskan bahwa penggunaan teknologi kecerdasan buatan yang tidak bertanggung jawab perlu diantisipasi dengan serius menjelang Pemilu 2024.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, menyoroti pentingnya pedoman etika dalam penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk menghadapi potensi munculnya gangguan informasi baru dalam pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan.
Kemajuan teknologi AI dapat memunculkan bentuk gangguan informasi baru, termasuk teknologi deepfake yang memungkinkan manipulasi gambar atau video untuk tujuan pembohongan publik atau penipuan.
Pemanfaatan teknologi AI diproyeksikan akan berkontribusi sebesar 366 miliar dollar AS terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada tahun 2030. Oleh karena itu, Kementerian Kominfo sedang menyusun pedoman etika dalam pemanfaatan kecerdasan buatan di Indonesia untuk mengatasi berbagai tantangan yang mungkin muncul.
Pedoman etika AI akan menjadi instrumen penting dalam menjaga integritas informasi dan melindungi proses demokrasi dari ancaman deepfake dan hoaks yang menggunakan teknologi AI. Ini adalah langkah yang diperlukan dalam menghadapi tantangan baru yang muncul seiring dengan kemajuan teknologi.
Mewaspadai penyebaran deepfake AI menjelang Pemilu 2024 adalah tugas bersama yang membutuhkan peran serta aktif dari masyarakat, pemerintah, dan media. Kemenkominfo telah memberikan peringatan dan pedoman etika untuk menghadapi ancaman ini, namun, tanggung jawab untuk memeriksa informasi dan mengonfirmasi sumbernya juga ada pada kita sebagai individu.
Dalam dunia yang semakin terkoneksi secara digital, kehati-hatian dan kecerdasan dalam menyikapi informasi yang kita terima sangat penting. Mencari informasi dari sumber-sumber yang dapat dipercaya, menjalani tabayyun (pengujian informasi), dan terus menerus meningkatkan literasi digital adalah langkah-langkah kunci dalam menjaga demokrasi kita dari bahaya deepfake dan hoaks yang dapat merusak kepercayaan publik.
Pemilu 2024 adalah momen penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia, dan kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaganya. Dengan kesadaran bersama dan langkah-langkah yang bijak, kita dapat mengatasi ancaman deepfake AI dan menjaga integritas proses demokrasi yang adil dan transparan.
Jangan biarkan teknologi menjadi senjata yang merusak demokrasi, melainkan jadikanlah alat untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi kita.
)* Penulis adalah kontributor Lembaga Media Inti Nesia