Oleh : Lingga Nataya )*
Putusan dari MK mengenai batasan usia Capres dan Cawapres pada Pemilu 2024 mendatang memang sudah sangat melebihi kewenangan mereka sendiri, pasalnya hal tersebut sebenarnya kewenangan dari DPR RI dan Presiden RI. Selain itu, adanya putusan tersebut bisa menjadi perangkap tersendiri, bahkan dinilai sudah terdapat skenario besar di dalamnya dan dikhawatirkan semakin berpotensi menciptakan kekisruhan di masyarakat karena adanya penolakan besar.
Belakangan ini terjadi sebuah kontroversi yang terus saja dibahas dengan sangat hangat oleh masyarakat. Bahkan publik pun masih terus saja membahas perkara tersebut secara cukup berkepanjangan, sehingga sebaiknya memang adanya putusan tersebut jangan sampai justru dimanfaatkan oleh pihak tertentu, utamanya yang memiliki kepentingan dalam pesta demokrasi dan kontestasi politik hanya demi kepentingan mereka semata.
Pasalnya, bangsa ini sebenarnya sangat memerlukan sosok pemimpin yang memiliki jiwa sangat besar sebagai seorang negarawan, sehingga hendaknya mereka justru tidak mendompleng adanya Putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK) itu untuk melanggengkan kepentingan mereka.
Jelas sekali pula bahwa dalam putusan tersebut, merupakan sebuah putusan yang sangat problematik bahkan juga mampu dianggap sebagai sebuah upaya untuk penyelundupan hukum, lantaran dari hasil putusan tersebut justru seolah hanya mengabulkan sebagiannya saja. Bagaimana putusan tersebut sebenarnya juga mengandung sebuah cacat hukum yang serius.
Adapun putusan yang dimaksud adalah putusan dalam perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang dikabulkan sebagian pada Senin (16/10/2023).
Maka dari itu, dalam sebuah kesempatan diskusi yang diselenggarakan oleh Moya Institute, Pemerhati Isu Strategis dan Global, Prof. Dubes Imron Cotan menyampaikan bahwa memang sebenarnya dari bagaimana keputusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi itu sudah sangat jelas kalau mereka telah melebihi apa yang telah diminta.
Sehingga dengan adanya peristiwa itu, maka ke depannya akan mampu berpotensi untuk menimbulkan sebuah kerancuan dan juga sekaligus adanya pertanyaan sangat besar dari berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya, sebenarnya seluruh masyarakat di Indonesia sendiri sudah menyetujui adanya kontrak sosial baru yang berada di negara ini, yakni menjadi sebuah bangsa yang anti akan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) karena hal tersebut mampu semakin memajukan asas demokrasi di Tanah Air.
Sebenarnya dengan bagaimana terjalinnya kontrak sosial baru itu juga yang merupakan dasar dari berdirinya pemerintah pasca reformasi sejak jaman setelah Orde Baru (Orba). Seluruh masyarakat di Indonesia sudah memiliki komitmen yang kuat untuk bisa mencegah adanya praktik KKN tersebut sekaligus juga mampu semakin menghantarkan bangsa ini memiliki dasar yang kokoh untuk menuju Indonesia Emas pada tahun 2045 mendatang.
Akan tetapi, justru cita-cita dari masyarakat itu nampaknya telah sangat dikecewakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena mereka telah melampaui kewenangannya dan justru sudah mengambil alih fungsi dari legislasi yang sebenarnya dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan juga Presiden RI sebagai pembuat Undang-Undang (UU).
Selain itu, sebenarnya pula, semenjak awal gugatan tersebut diajukan kepada MK, maka perkara itu sudah sangat bisa untuk mereka tolak lantaran penimbangan awal adanya sebagai penentuan. Hal tersebut dikarenakan jika membicarakan mengenai penentuan persyaratan dari suatu jabaran, maka domain tersebut berasal dari open legal policy dan menjadi domain DPR RI serta Presiden RI, bukan milik Mahkamah Konstitusi.
Karena sudah sangat bertentangan dari bagaimana marwah awal mereka, maka sudah sangat jelas bahwa adanya Putusan MK tersebut mampu menimbulkan kerusuhan. Terlebih, bahwa sebenarnya adanya putusan itu juga bahkan bisa menjadi sebuah perangkap tersendiri. Pertama adalah perangkap kepada Gibran Rakabuming Raka, karena dirinya telah dinarasikan akan maju menjadi Calon Wakil Presiden (Cawapres) pada perhelatan Pemilu 2024 mendatang, padahal dari awal sudah sangat jelas dirinya sendiri belum memiliki usia yang memadai.
Terlebih, publik pun akan menjadi semakin terpantik mengingat posisi latar belakang yang dimiliki oleh Gibran merupakan dirinya adalah putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mana kini beliau sendiri juga masih aktif menjabat sebagai Kepala Negara di republik ini.
Lebih lanjut, ada pula perangkap kedua yakni bagi Presiden Jokowi sendiri karena dirinya akan dianggap oleh masyarakat terlalu ikut campur ataupun melakukan cawe-cawe dalam menentukan siapa pengganti dan penerus beliau di masa mendatang. Adanya hal tersebut maka akan sangat jelas mampu menjadi sebuah katalisator bagi keresahan masyarakat.
Bahkan, sebenarnya adanya keterlibatan akan kepentingan itu juga sudah mampu dideteksi sejak lama sehingga seolah ada pihak tertentu yang mengorkestrasinya dan menjadi sutradara di balik semua skenario itu.
Maka dari itu, seluruhnya patut untuk terus diwaspadai agar bagaimana caranya kekhawatiran masyarakat akan terjadinya kerusuhan yang besar dan berkelanjutan tidak terjadi, beberapa diantaranya adalah jika ternyata Gibran sendiri tidak memutuskan untuk maju dan melenggang ke kontestasi 2024, ataupun dengan apabila para ketua Parpol koalisi Indonesia Maju tidak menghendaki pencalonan Gibran.
)* Penulis adalah kontributor Persada Institute