Jakarta – Pengamat Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai Mahkamah Konstitusi (MK) telah melanggengkan politik dinasti dengan putusan terbarunya soal batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang dibacakan Senin, 16 Oktober 2023.
Bivitri mengatakan, akan ada dampak yang mempengaruhi MK setelah pembacaan amar putusannya. Dampak pertama, adalah turunnya legitimasi MK.
Kedua, dia menilai putusan ini akan memberikan legitimasi terhadap penggunaan lembaga yudikatif untuk kepentingan politik dinasti dalam demokrasi di Indonesia.
“Dalam konteks demokrasi Indonesia secara lebih umum menurut saya sih, jadinya ada penggunaan lembaga yudikatif untuk membentuk politik dinasti,” kata Bivitri.
Sebelumnya, dalam diskusi media yang digelar Media PARA Syndicate di Kantor PARA Syndicate dengan tema “MK Bukan Mahkamah Keluarga: Tahta, Kuasa, Lupa?”, berbagai tokoh masyarakat dan aktivis juga mengungkapkan kekhawatiran terkait MK.
Wakil Ketua SETARA Institute, Bonar Tigor Naipospos menggarisbawahi pentingnya MK mempertimbangkan reaksi keras dari rakyat jika keputusan yang diambil salah. Naipospos juga menekankan bahwa keputusan MK haruslah diambil demi kebaikan Indonesia.
“MK diharapkan membuat keputusan bijaksana dengan mempertimbangkan reaksi keras dari rakyat jika keputusan tersebut salah, dan juga demi kebaikan Indonesia,” kata Bonar dalam diskusi tersebut, Minggu (15/10).
Namun, perhatian terbesar dalam diskusi ini adalah terfokus pada hubungan dekat antara Presiden Jokowi dan Ketua MK, Anwar Usman.
Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus, mengungkapkan keprihatinannya terhadap apa yang ia sebut sebagai MK yang terlihat semakin seperti “Mahkamah Keluarga”.
Selestinus meramalkan bahwa MK mungkin akan menghadapi sengketa terkait hasil Pilpres dan Pilkada yang melibatkan keluarga Presiden Jokowi.
“MK terlihat semakin seperti ‘Mahkamah Keluarga’ dengan hubungan dekat antara Presiden Jokowi dan Ketua MK, Anwar Usman. Khususnya menjelang Pemilu serentak 2024, MK mungkin menghadapi sengketa terkait hasil Pilpres dan Pilkada yang melibatkan keluarga Presiden Jokowi,” ujar Selestinus.
Selain itu, Petrus Selestinus juga memandang bahwa MK telah mengambil alih sejumlah keputusan yang seharusnya menjadi wewenang DPR, terutama terkait keputusan seperti perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan gugatan batas usia Capres-Cawapres.
Ia mendesak agar dalam situasi di mana seorang hakim memiliki kepentingan pribadi, Ketua MK seharusnya mundur sesuai dengan ketentuan hukum.
“Dalam situasi di mana seorang hakim memiliki kepentingan pribadi, seharusnya Ketua MK mundur sesuai dengan ketentuan hukum, karena hubungan keluarga antara Presiden Jokowi dan Ketua MK telah merusak integritas sistem hukum acara di MK, demokrasi, dan kewenangan DPR,” jelasnya.
Diskusi tersebut menyoroti masalah serius yang menghadang MK saat ini. Walaupun MK memiliki peran penting dalam menjaga konstitusi dan hukum negara, kritik terhadap hubungan dekat antara Ketua MK dan Presiden Jokowi serta pengambilalihan wewenang DPR telah menimbulkan kekhawatiran tentang netralitas dan integritas MK. (*)