Oleh : Stefanus Putra Imanuel )*
Ada bahaya laten yang mengiringi jalannya penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah politik Identitas, dimana hal tersebut harus diwaspadai karena mampu memunculkan konflik antar masyarakat yang tidak sebentar.
Imam Pituduh selaku Sekretaris Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) menyebutkan bahwa politik identitas merupakan bahaya laten yang perlu diwaspadai bersama terutama menjelang momentum politik yakni Pilpres 2024. Hal tersebut disebabkan politik identitas dapat menjadi akselerator bagi rontoknya konstruksi sosial yang melahirkan konflik horisontal berkepanjangan.
Imam berujar, bahaya laten politisasi agama perlu diwaspadai, karena politik identitas dan agama yang dipolitisir adalah formula yang sangat mudah untuk melakukan radikalisasi dan penyesatan masyarakat.
Dirinya melanjutkan, sikap pembiaran terhadap politik identitas justru membuka lebar-lebar bagi berkembangnya permainan semu yang menjajah cara berpikir masyarakat dan seakan-akan adalah hal yang lumrah, sehingga praktik yang demikian juga digunakan oleh oknum berkepentingan sebagai komoditas yang menjanjikan.
Pria yang akrab disapa Gus Imam ini menuturkan, Politik yang dibungkus agama selalu menjadi komoditas yang favorit untuk diperdagangan di masyarakat yang mayoritas religius. Dalil-dalil agama selalu dijadikan justifikasi untuk mengambil langkah-langkah politik bagi mereka yang menjajakan politik identitas dan menggoreng agama sebagai komoditas.
Tidak hanya itu, Pria yang menjadi sutradara dalam film ‘Super Santri: Konspirasi Menguasai Negeri’ ini juga melihat, praktik politik identitas kian diperparah pasca perubahan kehidupan sosial masyarakat yang lekat dengan media sosial, Serangan dan bombardir isu politisasi agama dan ideologisasi radikal juga bergerak masif melalui jalur online.
Ia menjelaskan, para Buzzer dan robot kelompok radikal selalu berusaha bergerak secara masif untuk menguasai jalur digital. Mereka menggunakan neuroscience untuk membidik dan mempengaruhi anak muda dan para pemilih mayoritas, agar dapat dipengaruhi, diinfiltrasi dan dikendalikan alam bawah sadar dan lifestyle masyarakat.
Sehingga, guna mewaspadai dan mempersiapkan masyarakat dari maraknya isu politik identitas ke depanya, dirinya menilai perlu digelorakan pemahaman terhadap isu politisasi agama dan wawasan kebangsaan supaya masyarakat memiliki imun dan daya dobrak guna melawan segala bentuk ideologi radikal dan politisasi agama yang seiring sejalan.
Masyarakat sebagai garda depan perlawanan harus diperkuat dalam kesatuan komando dan dilaposi dengan imunitas wawasan kebangsaan yang kuat dan dipersenjatai dengan pemahaman keagamaam yang moderat, ramah, damai dan toleran. Karena perlawanan ini tidak bisa sendiri-sendiri.
Pada kesempatan berbeda, Bambang Soesatyo selaku Ketua MPR RI mengingatkan kepada semua pihak untuk mewanti-wanti politik identitas pada pemilu 2024. Cara kotor tersebut bukanlah barang baru dan sudah berlangsung pada pesta demokrasi sebelumnya. Dirinya juga menyoroti politik uang yang masih menjadi persoalan besar pada kontestasi politik. Merujuk pada hasil pemetaan kerawanan pemilu dan pemilihan menyoal politik uang yang dilakukan Bawaslu pada 2023, terdapat lima provinsi paling rawan yang perlu mendapatkan pengawasan ketat.
Kelima wilayah tersebut adalah Maluku Utara dengan skor 100, Lampung dengan skor 55,56. Jawa Barat skor 50, Banten skor 44,44 dan Sulawesi Utara dengan skor 38,89.
Jika dilihat berdasarkan agregasi tiap kabupaten/kota, Papua Pegunungan menjadi provinsi dengan tingkat kerawanan tertinggi politik uang. Semua kabupaten di sana masuk dalam kategori rawan. Sembilan provinsi di bawah Papua Pegunungan adalah Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Banten, Lampung, Papua Barat, Kawa Barat, Kepulauan Riau dan Maluku Utara.
Dirinya juga menyoroti lemahnya pengawasan rakyat pascapemilu. Padahal, pengawasan ini berfungsi sebagai kontrol terhadap kekuasaan pejabat terpilih, mencegah penyalahgunaan kekuasaan, dan memastikan implementasi kebijakan yang sesuai dengan kepentingan publik. Namun dalam implementasinya, pengawasan oleh warga negara cenderung melemah setelah pemilu dilaksanakan.
Pria yang akrab disapa Bamsoet tersebut juga mengatakan bahwa pelaksanaan pemilu di Indonesia amatlah kompleks bahkan memakan biaya yang sangat mahal. Dimana tercatat daftar pemilih tetap (DPT) nasional mencapai hampir 205 juta pemilih dengan 20.462 kursi di lembaga-lembaga legislatif yang akan diperebutkan oleh lebih dari 200 ribu calon anggota legislatif.Ia juga mengingatkan bahwa persoalan terkait regresi demokrasi meski pengelolaan pemilu di Asia termasuk yang paling tertata dan kerap dijadikan rujukan.
Masyarakat perlu menyadari bahwa politik identitas yang memanfaatkan simbol-simbol agama sangatlah rawan memecah belah persatuan umat hingga membahayakan keutuhan bangsa. Salah satu contoh perpecahan atau polarisasi akibat politik identitas sempat terjadi pada 2019 lalu, bahkan hingga saat ini suasana tersebut masih ada.
Para calon presiden tentu diharapkan kelak dapat menjaga suasana kedamaian dengan saling mengadu program positif, sehingga masyarakat dapat melihat apa yang dikampanyekan tersebut cocok. Masyarakat juga harus cerdas dan tidak terpengaruh berbagai macam informasi yang menyesatkan seperti hoax dan disinformasi serta beragam isu yang bisa memecah belah persatuan bangsa.
)* Kontributor Citaprasada Institute