Oleh : Arzan Malik Narendra )*
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan hajat besar yang perlu disambut dengan gembira, tetapi masa-masa jelang pemilu kerap menjadika suasana menjadi memanas, seperti adanya penyebaran hoax, hate speech dan kampanye hitam. Tentu saja pemilih yang cerdas akan dapat mencegah dirinya menjadi korban hoax, ujaran kebencian dan kampanye hitam.
Sejatinya pemilu merupakan sarana untuk menyeleksi calon pemimpin yang kredibel. Dengan begitu, kualitas calon pemimpin sangat ditentukan partisipasi masyarakat dalam memberikan hak suaranya.
Wali Kota Manado Andrei Angouw mengingatkan bahwa masyarakat Kota Manado menjadi pemilih yang cerdas. Pemilu sudah seharusnya menjadi ajang untuk perang gagasan, program dan ide. Banyak masyarakat terhanyut karena perbedaan dukungan. Padahal perbedaan dalam negara demokratis adalah hal yang wajar. Sudah sepatutnya para pemilih dapat melihat program dan gagasan apa yang disiapkan calon yang hendak dipilihnya, baik itu calon legislatif maupun kepala daerah/presiden.
Pemilu merupakan instrumen sekaligus wujud nyata dari demokrasi. Dalam pemikiran Bung Hatta, proklamator sekaligus pendiri bangsa Indonesia, demokrasi di Indonesia berbeda dengan demokrasi model barat. Kedaulatan rakyat di barat hanya terjadi dalam ranah politik, sedangkan di Indonesia kedaulatan rakyat juga mencakup bidang sosial dan ekonomi.
Pada kesempatan berbeda, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri Bahtiar mengajak kepada semua pihak untuk menghadirkan Pemilu yang damai dan menyenangkan. Bahtiar juga menyampaikan kepada Bawaslu yang terus mematangkan kesiapan untuk melaksanakan tugasnya sesuai amanat UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pada kontestasi seperti pilpres ataupun pilkada, konflik antarkandidat masih sering terjadi dan hal ini melibatkan pendukung baik di dunia nyata seperti intimidasi oleh simpatisan gara-gara berbeda kaos, maupun intimidasi di dunia maya yang sering diwarnai dengan berita hoax maupun upaya delegitimasi KPU sebagai lembaga independen.
Model kampanye hitam juga masih sering ditemukan dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi. Mulai dari politisasi tempat ibadah (masjid) hingga penyebaran ujaran kebencian, serta berita hoax yang santer mewarnai jagat media sosial. Sehingga sangat penting sekali agar para pemilik akun media sosial memiliki literasi digital yang baik.
Direktur Tindak Pidana Siber (Bareskrim) Polri, Brigadir Jenderal Adi Vivid Agustiadi mengatakan pihaknya tengah berkoordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait video hoax kebocoran hasil Pemilu 2024. Pihak KPU telah menyanggah informasi tersebut. Oleh karena itu, Bareskrim bersama KPU melakukan penelusuran terhadap siapa yang mengunggah atau mengupload pertama kali kebocoran data tersebut.
Pihak Polri sedang melakukan profiling, dan jika dalam masa profiling tersebut ada unsur pidana, akan ditindaklanjuti. Adi Vivi mengimbau kepada masyarakat agar hati-hati dalam mengakses media sosial menjelang Pemilu 2024. Masyarakat harus bisa menggunakan media sosial untuk hal-hal yang positif saja. Contohnya, seorang peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Andi Pangerang Hasanudin yang ditangkap karena ucapannya di media sosial.
Meningkatnya jumlah hoaks dengan tema politik tentu saja mengancam kualitas demokrasi di Indonesia. Apalagi hoaks tidak hanya menyesatkan masyarakat, tetapi juga mendelegitimasi proses penyelenggaraan Pemilu, parahnya hoaks politik juga bisa membuat kerusuhan di masyarakat.
Polri telah melakukan berbagai antisipasi penyebaran berita bohong terkait dengan PEMILU 2024. Apalagi pada 2022, Polri telah menerima 113 laporan terkait kasus tersebut, Jumlah tersebut hampir empat kali lipat lebih banyak ketimbang laporan di 2021 yaitu 33 kasus. Data di e-MP Robinopsnal Bareskrim Polri menunjukkan terjadi peningkatan jumlah penindakan, pelapor dan terlapor sejak 2021 sampai 2022.
Masyarakat harus memahami bahwa pengguna media sosial selalu mendapatkan pengawasan oleh pihak kepolisian dan pemerintahan. Bila menyebarkan hoax, polisi dan pemerintah akan mengidentifikasi apakah unggahan tersebut berpotensi memecah persatuan dan kesatuan.
Dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mengatur soal penindaan terhadap kasus penyebaran berita bohong. Pelaku yang menyebarkan informasi bohong terancam hukuman penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar. Oleh karena itu, sinergitas antar masyarakat sangatlah diperlukan guna mewujudkan pemilu sehat.
)* Penulis adalah kontributor pada Lembaga Siber Nusa