Indonesia adalah negara demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Dengan memiliki berbagai suku bangsa dan etnis, nilai-nilai luhur bangsa harus tetap dipegang teguh oleh segenap elemen masyarakat di tanah air, demi kehidupan yang rukun dan damai. Dalam konteks berpendapat, kita tidak bisa mengungkapkan semaunya apalagi di ruang publik dengan dasar alasan berdemokrasi. Demokrasi di Indonesia memiliki batasan, yaitu Pancasila, yang adalah dasar segala hukum di Indonesia.
Masyarakat Indonesia hidup berbangsa dan bernegara, sehingga tentu ada ketentuan dan aturan hukum yang harus dipatuhi karena hukum diciptakan untuk membuat peraturan agar masyarakat bisa lebih tertib. Pada dasaranya, demokrasi di Indonesia harus dilihat dari semangat dan nilai-nilai luhur bangsa. Tentu saja demokrasi di Indonesia berbeda dengan demokrasi negara-negara yang ada di dunia, karena hanya Indonesia yang memiliki Pancasila.
Tenaga Ahli Utama KSP Ade Irfan Pulungan, dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun Radio di Jakarta, mengatakan bahwa batasan kebebasan berpendapat dalam konteks demokrasi Pancasila, tercantum dalam pasal 28 UUD 1945. Sedangkan jika melihat dalam hidup bermasyarakat, bersosial dan berketuhanan tentu batasannya muncul dalam masyarakat. Publik bisa menilai apakah itu positif atau tidak, apakah sebuah kritikan atau tidak.
Ungkapan Ade Irfan masih terkait dengan diksi ‘Bajingan Tolol’ yang disampaikan akademisi Rocky Gerung terhadap Presiden Joko Widodo. Menurut Ade, ucapan-ucapan RoGer (Rocky Gerung) tidak elok disampaikan dalam konteks bermasyarakat, bersosial dan berke-Tuhan-an.
Masyarakat Indonesia, yang bersuku dan beretnis, pasti memiliki adab yang berkembang yang dilatarbelakangi keagamaaan. Selain itu ada juga adat istiadat, kultur dan budaya yang wajib kita patuhi.
Sebagai akademisi, ilmuwan atau apapun pekerjaan dan profesi seseorang, dalam memberikan masukan, tidak terlepas dari kultur dan budaya serta tradisi yang ada di daerah dan keluarga masing-masing. Selain itu, ucapan-ucapan yang tidak pantas, yang disampaikan dalam forum terbuka, bisa menjadi referensi atau kebiasaan buruk jika tidak di-warning dan akan mengikis nilai-nilai kultur budaya.
Ade Irfan juga mengungkapkan bahwa sebenarnya, adab lebih tinggi dari segala ilmu dan pengetahuan, karena sepandai-pandainya orang ketika tidak ada adab, tentu tidak dapat penghormatan dan kemuliaan di dirinya. Tapi sebaliknya, serendah-rendahnya ilmu yang dimiliki seseorang, tapi jika memiliki adab maka ada kemuliaan yang didapatkan.
Antara kritikan, hinaan dan cacian sebenarnya sudah jelas perbedaannya, sehingga tidak perlu diperdepatkan lagi, Sedangkan ucapan yang dilontarkan RoGer dalam sebuah acara di akun youtube Refly Harun, bukan ucapan mengkritik. Namun penghinaan dan merendahkan kepala negara.
Pernyataan RoGer pun mendapat kecaman dari berbagai pihak dan elemen masyarakat, baik masyarakat adat, advokat, sesama akademisi maupun masyarakat Indonesia pada umunya.
Secara hukum, menurut Ade, ini delik aduan, namun harus dilihat lagi apakah terkait norma-norma yang melekat di kultur yang ada. Ucapan RoGer jika tidak dilakukan peringatan atau warning, akan menjadi preseden yang tidak baik dan legtimasi bagi orang lain untuk bisa bebas melakukan hal seperti itu, sehingga menjadi problem dimasa yang akan datang. Nanti aparat kepolisian yang melihat apakah itu sebuah persoalan yang harus diberikan sanksi.
Terkait permintaan maaf RoGer, seharusnya permintaan maaf harus datang dari hati dan keinginan diri sendiri bukan karena dipaksa atau tekanan dari siapapun, agar orang tersebut menyadari apa yang dia lakukan keliru.
Tentu harus realistis dan rasional, Presiden Jokowi sendiri mempersilahkan kritik dan koreksi terhadap sebuah kebijakan yang dirasa tidak baik, tapi kritikan harus ada solusinya, nilai positif atau keinginan untuk memberikan perbaikan.
Kritik yang membangun atau konstruktif penting agar pemerintah menyadari bahwa diawasi dan dikontrol publik. Hal tersebut lebih baik ketimbang kritik tanpa solusi dengan diksi negatif dan tidak pantas, bahkan merendahkan dan mengakibatkan orang akan marah dan tidak simpatik terhadap ucapan-ucapan tersebut dengan dalil kebebasan berdemokrasi. (Reenee Winda – Senior Journalist / political observer)