Oleh : Abbad Dzul Hilmi )*
Pernyataan Rocky Gerung yang menggunakan diksi “bajingan -tolol” telah memicu kecaman dan protes dari banyak pihak, tidak terkecuali akademisi. Publik pun diimbau untuk selalu mengedepankan kritik yang beradab sesuai nilai-nilai Pancasila.
Komunikolog dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Dr Emrus Sihombing menyampaikan bahwa diksi yang dikemukakan oleh pengamat politik Rocky Gerung merupakan sebuah contoh nyata dari bagaimana adanya praktik demokrasi dan kebebasan yang kebablasan, karena dirinya sampai menggunakan sebuah ungkapan yang sama sekali tidak pas untuk disampaikan.
Sebenarnya apabila diamati dengan seksama, maka keberpolaan dari tokoh kontroversial tersebut akan terlihat, yakni dirinya memang dikenal sebagai sosok figur yang kerap kali menyampaikan kritikan pedas, akan tetapi banyak diantara kritik yang dia sampaikan itu sama sekali bukanlah sebuah kritik membangun dan justru menjadi ungkapan tidak produktif, khususnya kepada Pemerintahan kepemimpinan Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo (Jokowi).
Selain itu, apabila masih terdapat anggapan dan sebuah dalih pembenaran yang menyatakan kalau seolah ungkapan diksi ‘Bajingan dan Tolol’ itu merupakan bentuk dari ekspresi persahabatan, maka perlu untuk dikaji lebih dalam. Pasalnya, dalam konteks ruang dan waktu ketika diksi itu diucapkan sama sekali tidak ada Presiden Jokowi di sana, selain itu juga ucapan tersebut dikemukakan di ruang publik dengan justru adanya kehadiran orang lain.
Dengan sangat tegas, Dr Emrus Sihombing selaku Pakar Komunikasi membantah keras kalau misalnya adanya sebuah pembenaran bahwa seolah ungkapan diksi tidak pantas itu merupakan sebuah ungkapan persahabatan jika dilihat dari sudut pandang semiotika komunikasi.
Lebih lanjut, sebenarnya apabila terdapat seseorang yang sampai mengemukakan sebuah ucapan kurang pantas dan dikeluarkan di ruang publik, maka sejatinya orang itu telah merendahkan banyak pihak pula, bukan hanya sekedar merendahkan orang lain hingga adanya indikasi penghinaan terhadap Kepala Negara saja, namun orang itu juga telah merendahkan para pemirsanya dan merendahkan dirinya sendiri.
Dalam suatu prinsip dalam komunikasi, terdapat hal yang penting untuk bisa diwujudkan yakni adanya posisi egaliter atau kesetaraan antar satu subjek dengan subjek yang lain ketika mereka menjalin komunikasi. Sehingga sama sekali tidak dibenarkan apabila ada penggunakan kata yang merendahkan demikian.
Etika dalam berpolitik memang menjadi sebuah hal yang sangat diperlukan dan merupakan hal yang sangat penting, utamanya dalam penerapan asas demokrasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jangan sampai terjadi lagi adanya komunikasi politik yang tidak beretika karena itu juga akan sangat mengganggu bagaimana citra bangsa ini di mata dunia.
Seharusnya dengan bagaimana pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) yang pernah terselenggara di Indonesia pada tahun 2019 lalu mampu menjadi sebagai sebuah pengalaman dan juga sekaligus menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi semua pihak agar jangan sampai terulang kembali hal demikian, agar pembenahan dan juga pembaikan terus terjadi bagi sistem politik di Tanah Air.
Maka dari itu, menjadi sangat penting adanya etika dalam berpolitik yang hendaknya mampu diperjuangkan oleh segenap elemen masyarakat di Indonesia tanpa terkecuali, serta mampu juga dihadirkan dalam penerapan kehidupan berbangsa dan bernegara agar nuansa politik di Tanah Air senantiasa bisa terasa lebih sehat serta rasional.
Selain itu, adanya etika politik juga diperlukan bagi penyelenggara negara dalam pelaksanaan pesta demokrasi dan kontestasi politik, Pemilihan Umum (Pemilu) maupun juga dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) agar tidak sampai ternodai penerapan asas demokrasi di Indonesia, ataupun tidak membuat hasil dari pelaksanaan Pemilu tersebut menjadi ternoda dan cacat secara hukum.
Pada umumnya, biasanya memang masalah etika dan moral yang mendasar, temasuk dalam pelaksanaan perpolitikan adalah karena akibat dari minimnya penekanan nilai moral dalam proses pendidikan. Selain itu, bisa juga dikarenakan karena adanya penurunan keadaban publik ataupun perseorangan tertenu, yang mana menyebabkan tidak adanya lagi budaya sopan santun yang ditunjukkan dalam praktik komunikasi politik yang dilakukan, terlebih apabila komunikasi itu dibawa hingga ke ruang publik.
Bagaimana pentingnya akan sopan santun meski dalam konteks komunikasi politik adalah juga lantaran latar belakang budaya atau kultur bangsa ini yang terus menjunjung akan sopan santun bahkan sudah sejak sangat lama. Apabila masih saja ada pihak yang menerapkan cara berkomunikasi sarkastik dan blak-blakan dengan sama sekali tidak memperhatikan budaya sopan santun, tentu akan mampu memberikan efek yang tidak baik bagi banyak pihak lainnya.
Hendaknya seluruh elemen masyarakat di Indonesia mampu untuk secara bersama-sama mampu saling menjaga adanya penerapan demokrasi yang beretika pada bangsa ini. Maka dari itu, semua pihak juga harus mampu untuk mewaspadai apabila misalnya terdapat ungkapan yang tidak pantas atau sama sekali tidak beradab, terlebih jika dikemukakan di ruang publik dan berdalih kritik. Karena sejatinya hal itu bukan kritik yang produktif.
)* Penulis adalah kontributor Nusa Bangsa Institute