Jakarta – Akademisi yang juga pengamat politik, Rocky Gerung, terhitung sudah beberapa kali dilaporkan ke polisi karena tuduhan telah menghina Presiden Jokowi. Baru-baru ini, Rocky kembali tersandung kasus serupa karena melontarkan ujaran kebencian terhadap Presiden Jokowi dengan kata-kata ‘bajingan yang tolol’.
Merespon fenomena pendidik yang acapkali berujar kebencian, Komunikolog Universitas Pelita Harapan, Dr Emrus Sihombing menekankan pentingnya kedewasaan dalam berdemokrasi dengan menjunjung tinggi adab.
“Kita tentu menganut demokrasi, namun bukan yang liberal, namun berasas nilai Pancasila. Di dalamnya ada kata beradab, sehingga demokrasi yang kita akui adalah demokrasi yang beradab,” tegasnya ketika ditemui di studio salah satu televisi nasional.
Menurut Emrus, keberadaban sendiri sesuai dengan nilai-nilai yang ada di Indonesia termasuk etika, kesopanan dan menghargai orang lain. Sedangkan diksi ‘bajingan yang tolol’ yang muncul akhir pekan ini berdasarkan pandangannya merupakan diksi yang tidak tepat, dan mencerminkan demokrasi semu yang kebablasan sehingga tidak pas.
“Kita harus pisahkan antara kritik yang produktif dan kritik yang dibungkus dengan agenda. Saya melihat Rocky Gerung kalau saya pelajari rekam jejaknya di dunia digital, dia kerap mengungkapkan kritik tidak produktif ke Presiden Jokowi,” imbuhnya.
Pihaknya mengiyakan, sepanjang itu melanggar peraturan dan diduga melanggar peraturan, maka tindakan ujaran kebencian tersebut lebih baik diproses.
“Ketika ada perbedaan tentang sesuatu yang melanggar hukum, sehingga hakim yang akan menentukan. Jika konstruksi hukumnya sangat kuat, maka laporkan saja,” pungkas Emrus.
Dosen Komunikasi ini juga berpesan agar generasi muda selalu dan hanya mengakses sumber informasi secara beragam, dan selektif terhadap kredibilitas sumbernya.
“Jangan hanya dari satu sumber saja. Beragam, karena itu akan mencerdaskan pula. Para generasi muda tentu tidak hanya memiliki akses informasi dari Indonesia saja, sehingga saya meyakini mereka akan mampu menyeleksi mana pesan yang kredibel, pesan yang mendiskreditkan atau pesan yang hoaks,” jelas Emrus.
Ketika memang wacana publik tidak ada kepastian seperti di media sosial, Emrus menyatakan hendaknya yang dikses adalah media konvensional karena di dalamnya pasti terdapat kode etik jurnalistik.
“Jadi misalnya ada pandangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara moral dan etik, maka hendaknya mengakses media yang kredibel saja, dibanding dengan akun milik aktor-aktor politik yang memiliki agenda politik pragmatis karena saya melihat kini banyak yang haus akan kekuasaan dan menghalalkan segala cara,” tambahnya.
Emrus juga beranggapan bahwa pesan komunikasi yang dilakukan Rocky Gerung tidak produktif dan yang paling berbahaya adalah dalam konteks pendidikan.
“Apakah pesan seperti itu adalah pesan pendidik? Padahal dia berprofesi sebagai pendidik. Saya melihat dalam akun itu sudah diakses oleh lebih dari 1 juta orang, kalau diikuti oleh penonton dan ditiru, maka jelas saja itu tidak bagus,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Emrus menyarankan agar Rocky Gerung meminta maaf kepada publik dan kepada Presiden Jokowi.
“Apa yang dikatakannya itu sudah offside, keterlaluan dan pesan yang tidak beradab,” ucap Emrus.
Emrus berpesan agar siapapun yang berbicara di ruang publik, sebagaimana Rocky Gerung dan lainnya harus berhati-hati karena apapun yang disampaikan di ruang publik tidak bisa ditarik kembali karena akan berbekas di peta kognisi sehingga komunikasi harus berhati-hati disampaikan.
“Komunikasi adalah sesuatu yang sangat substansial dibanding kehidupan lainnya karena budaya kita dan perilaku kita dibentuk karena proses interaksi komunikasi,” tutupnya.