Jakarta – Menjelang Pilpres dan Pileg 2024 terdapat sejumlah tantangan bagi proses pematangan demokrasi di Indonesia. Ditengah dinamika politik yang semakin tinggi, Indonesia perlu mempertahankan pancasila sebagai ideologi bangsa.
“Setelah ancaman pandemi Covid-19 selesai, ancaman Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme (IRT) juga sangat berbahaya. Sudah banyak temuan yang menunjukkan beberapa lembaga dan masyarakat yang terpapar ancaman ini,” ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto, yang juga pernah menjadi ajudan terakhir Presiden Soekarno (1967-1968), sebagai pembicara kunci dalam FGD yang digelar Moya Institute bertajuk “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Sidarto mengungkapkan, politik Indonesia sangat perlu untuk menerapkan kembali nilai-nilai Pancasila untuk menciptakan sistem politik yang sehat.
“Kita belum siap menghadapi demokrasi Barat. Sekarang demokrasi kita NPWP: Nomor Piro Wani Piro. Saya pernah menjadi anggota DPR RI tiga periode. Waktu sistem tertutup, saya dengan mudah terpilih. Saat sistem terbuka, orang disini mulai jorjoran dengan uang. Mulai gontok-gontokkan,” ujarnya.
“Rakyat jadi dididik untuk menunggu “serangan fajar atau subuh” untuk mendapat uang. Ini sangat tidak mendidik untuk pematangan demokrasi sehingga harus dihapus,” lanjutnya.
Sidarto berpendapat, sistem proporsional tertutup memungkinkan untuk menciptakan demokrasi yang lebih adil, jadi yang seharusnya dipilih langsung hanya Presiden dan DPR RI.
“Kepala daerah itu yang memilih atau menunjuk ya Presiden. Bupati juga begitu. Tiga partai politik pemenang nanti dapat jatah kursi di situ”. Katanya.
“Kalau dipilih langsung, nanti yang terjadi seperti sekarang, misalnya jabatan gubernur bisa membutuhkan dana ratusan miliar, bupati puluhan miliar, yang dananya didukung oleh para bohir dan cukong. Pembangunan pun jadinya yang didukung oleh para cukong itu, sehingga mutunya bisa dipertanyakan,” sambungnya.
Di sisi lain, Politikus reformasi yang juga Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq mengatakan, perjalanan panjang ideologi Pancasila mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 78 tahun sudah menghasilkan capaian yang luar biasa.
“Ketika tahun 1945 kita baru lahir sebagai sebuah negara bangsa, dengan masyarakat yang heterogen dan majemuk bisa bertahan hingga saat ini sebagai satu nation state yang maju dan modern. Menjadi tugas kita untuk melakukan penyesuaian, seiring dengan perkembangan dan kondisi zaman di mana demokrasi yang kompatibel dengan dasar negara kita yaitu Pancasila,” kata Mahfudz.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengungkapkan, ada banyak tantangan yang dihadapi Pancasila dalam dinamika politik indonesia. Perpecahan akibat perbedaan pilihan politik juga menjadi hal yang harus dihadapi.
Agus juga mengatakan, dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, KASN menjaga penerapan prinsip merit system serta pengawasan penerapan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN. Hal ini sekaligus untuk memastikan bahwa ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan, serta fungsi ASN sebagai perekat pemersatu NKRI tetap dijalankan oleh seluruh ASN di Indonesia.
“Kuncinya adalah pencegahan dan selalu mengingatkan kepada ASN untuk melihat kembali tugas utama serta kompetensinya sebagai abdi negara.” Ujar Agus.
Pemerhati isu strategis nasional dan global Prof. Dubes Imron Cotan mengatakan, Indonesia akan selalu memiliki perkembangan politik. Untuk itu menurutnya, Indonesia harus mempersiapkan setiap perkembangan dan mempertahankan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara.
“Kalau bangsa gagal mempertahankan daya lenturnya dan terus digempur serta dihantam setiap saat dengan politik pecah belah, eksistensi Pancasila dapat terancam dan Indonesia berpotensi menjadi negara gagal,” ungkapnya.