Oleh. Prof Imron Cotan
Akhir-akhir ini situasi keamanan terus memanas di Papua. Selain menyandera pilot Susi Air, kelompok separatis Papua juga melakukan serangkaian penyerangan terhadap anggota Polri dan TNI, selain menyiksa dan membunuh orang yang tidak bersalah. Kasus terakhir adalah penusukan tiga pekerja yang sedang membangun fasilitas jaringan komunikasi di Kabupaten Pegunungan Bintang.
Di tengah wacana publik tentang cara terbaik untuk menangani konflik skala kecil di Papua, ada beberapa pihak yang mencoba mengaburkan sejarah kembalinya Papua ke NKRI. Terkadang digunakan istilah “integrasi”, seolah-olah Papua terpisah entitas geografis dan politik dari koloni Hindia Belanda. Fakta sejarah membuktikan hal itu seiring berjalannya waktu dengan daerah lain di Indonesia, Papua diperintah oleh penjajah Belanda dari Batavia (Jakarta).
Fakta sejarah ini membuka jalan bagi penerapan asas-asas hukum internasional, Uti Possidetis Juris, yang menetapkan bahwa “batas negara yang baru merdeka sama dengan mereka ketika wilayah itu dijajah”. Dalam kasus Indonesia, wilayahnya terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dengan demikian Papua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah kedaulatan NKRI. Berbeda dengan Timor Leste yang tidak pernah dijajah Belanda.
Jadi, Papua murni persoalan internal Indonesia. Keterlibatan satu atau dua negara kecil dalam kawasan Pasifik Selatan tidak mengubah esensi bahwa Papua adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Banyak orang saat ini melupakan fakta bahwa salah satu tujuan United Nations’ Resolution (1969) adalah untuk memberikan kesempatan bagi Belanda untuk mundur secara terhormat dari Papua, mengingat Indonesia telah memutuskan untuk melancarkan operasi militer dengan sandi “Komando Trikora” untuk membebaskan wilayah tersebut. Perlu dicatat bahwa militer Indonesia pada tahun 1960-an adalah yang terkuat di kawasan Asia, karena pasokan peralatan tempur utama seperti kapal selam, tank, dan pesawat tempur berasal dari Uni Soviet saat itu.
Fakta politik dan hukum internasional di atas tidak menghalangi sekelompok orang untuk berkhayal tentang pembebasan Papua dengan melakukan beberapa narasi, terutama diskriminasi rasial, seolah-olah Ras Melanesia Indonesia hanya ada di Papua. Padahal, undang-undang pro-Papua dikeluarkan sebenarnya mendiskriminasi orang non-Papua, karena mencegah mereka bersaing secara adil dalam meritokrasi dasar dalam domain publik Papua. Di sisi lain, orang Papua bebas berkompetisi di Indonesia, tanpa batas. Kebijakan afirmatif ini dilakukan dalam upaya menghargai perbedaan budaya Papua.
Kebijakan afirmatif dan penghormatan terhadap keragaman budaya Papua inilah yang secara strategis berada di belakang peluncuran program Otsus dan pemekaran provinsi baru Papua melalui UU No: 02/2021 dan UU Nomor: 14/2022. Selain membuka peluang besar bagi masyarakat Papua untuk ikut ambil bagian dalam provinsi-provinsi baru itu, juga memperpendek rentang kendali pemerintah, sehingga pelayanan publik dapat dilaksanakan dengan cepat, efisien, dan hemat biaya. Anggaran belanja daerah baru juga sudah pasti akan mempercepat roda perekonomian daerah, pemerataan pembangunan, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua, seperti yang diinginkan oleh Inpres No. 09/2020 tentang Percepatan Pembangunan dan Kesejahteraan Papua.
Meningkatnya aktivitas dan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok separatis tidak terlepas dari berkurangnya perhatian masyarakat internasional. Vanuatu, misalnya, tidak lagi mengangkat isu Papua di Sidang Majelis Umum PBB tahun lalu. Kekhawatiran dunia atas perang proksi Ukraina – Rusia dan efek sampingnya turut menenggelamkan perhatian internasional terhadap konflik Papua. Untuk itu, kelompok separatis Papua menggunakan metode terorisme, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 05 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, berupaya keras untuk mengembalikan Papua menjadi perhatian dunia.
Penculikan pilot Susi Air berkewarganegaraan Selandia Baru adalah inti masalah. Tuntutan untuk menukar pembebasannya dengan kemerdekaan Papua juga di luar akal sehat. Penculikan dan pembebasan tiga warga negara Australia di PNG, terjadi hampir bersamaan dengan kasus pilot Susi Air. Hal ini sebenarnya bisa dijadikan contoh bahwa penculikan tidak akan pernah mencapai target yang dituju.
Menjadi masuk akal jika berasumsi bahwa komunikasi sosial dan pendekatan pembangunan teritorial yang dilakukan atas dasar niat baik TNI dalam satu tahun terakhir, membuka peluang bagi KKB untuk melakukan pengelompokan ulang, konsolidasi, dan persenjataan kembali. Ini menjelaskan mengapa akhir – akhir ini mereka lebih terorganisir dalam melakukan penyerangan dan pembunuhan, yang juga menyasar warga sipil.
Salah satu solusi masalah Papua yang perlu digali adalah mengadakan dialog lintas generasi dan lintas budaya, yang juga harus melibatkan unsur non-Papua untuk membantu menemukan cara terbaik mengatasi perbedaan, tetap dalam konteks Papua sebagai bagian integral dari NKRI.
Konsensus yang dicapai oleh para pemangku kepentingan ini kemudian dikomunikasikan kepada pemerintah pusat dan dijadikan sebagai bahan perumusan kebijakan bottom-up untuk mengatasi permasalahan yang ada. Forum dialog akan membuka peluang untuk mendengar aspirasi “the silent mayoritas” yang selama ini dibungkam oleh teror KKB.
Dialog akar rumput harus dilakukan secara paralel dengan operasi pemulihan keamanan dalam rangka memberantas kelompok separatis Papua, sehingga tercipta situasi dan kondisi yang kondusif. Tindak kekerasan yang dilakukan oleh KKB telah lama menimbulkan ketakutan yang meluas di Papua, meneror masyarakat, membungkam “the silent mayoritas”, yang jelas bertentangan dengan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 05 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Operasi untuk memulihkan pengamanan merupakan pelaksanaan amanat konstitusi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Ayat IV Pembukaan UUD 1945, bahwa pemerintah berkewajiban: “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Jika mandat ini diabaikan, aksi kekerasan KKB Papua akan terus berlanjut. Laporan Gugus Tugas Universitas Gadjahmada Papua mengidentifikasi ada 224 kasus kekerasan yang dilakukan oleh KKB per Maret 2022, jauh melampaui dugaan kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI/Polri. Terkadang ada pihak yang berprasangka buruk terhadap hal tersebut dengan menggunakan kata “oknum” (individu), mengaburkan fakta bahwa pemerintah tidak pernah merumuskan kebijakan untuk menindak kekerasan atau pelanggaran HAM, seperti yang terjadi pada perang Yugoslavia (1991 – 2001).
Perlu ditekankan bahwa pemberantasan separatisme dan aksi terorisme di Papua bukanlah pilihan, melainkan tatanan konstitusional yang harus ditegakkan.
*Penulis : Pemerhati Isu Kepentingan Strategis