Jakarta – Dinamika politik nasional menjelang Pilpres dan Pileg 2024 yang semakin tinggi memunculkan sejumlah tantangan bagi proses pematangan demokrasi di Indonesia. Bangsa Indonesia tetap dan terus membutuhkan Pancasila sebagai vaksin ideologi untuk menjaga keutuhan bangsa.
“Setelah ancaman pandemi Covid-19 selesai, ancaman Intoleransi, Radikalisme, dan Terorisme (IRT) juga sangat berbahaya. Sudah banyak temuan yang menunjukkan beberapa lembaga dan masyarakat yang terpapar ancaman ini,” ujar anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Sidarto Danusubroto, yang juga pernah menjadi ajudan terakhir Presiden Soekarno (1967-1968), sebagai pembicara kunci dalam FGD yang digelar Moya Institute bertajuk “Pancasila: Dinamika dan Tantangan yang Dihadapi?” di Hotel Gran Melia, Jakarta, Kamis (25/5/2023).
Sidarto yang sudah berusia 87 tahun dan telah mendampingi tujuh Presiden ini mengungkapkan, hasil riset mengatakan IRT relatif mampu menginfiltrasi aparatur sipil negara (ASN) di berbagai institusi. Bahkan radikalisme ditengarai telah merasuki oknum TNI-Polri.
“Kita belum siap menghadapi demokrasi Barat. Sekarang demokrasi kita NPWP: Nomor Piro Wani Piro. Saya pernah menjadi anggota DPR RI tiga periode. Waktu sistem tertutup, saya dengan mudah terpilih. Saat sistem terbuka, orang disini mulai jorjoran dengan uang. Mulai gontok-gontokkan. Rakyat jadi dididik untuk menunggu “serangan fajar atau subuh” untuk mendapat uang. Ini sangat tidak mendidik untuk pematangan demokrasi sehingga harus dihapus,” harapnya.
Sidarto berpendapat, yang seharusnya dipilih langsung hanya Presiden dan DPR RI. “Kepala daerah itu yang memilih atau menunjuk ya Presiden. Bupati juga begitu. Tiga partai politik pemenang nanti dapat jatah kursi di situ”.
“Kalau dipilih langsung, nanti yang terjadi seperti sekarang, misalnya jabatan gubernur bisa membutuhkan dana ratusan miliar, bupati puluhan miliar, yang dananya didukung oleh para bohir dan cukong. Pembangunan pun jadinya yang didukung oleh para cukong itu, sehingga mutunya bisa dipertanyakan,” urainya.
Politikus reformasi yang juga Sekjen Partai Gelora Mahfudz Sidiq mengatakan, perjalanan panjang ideologi Pancasila mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia selama 78 tahun sudah menghasilkan capaian yang luar biasa.
“Ketika tahun 1945 kita baru lahir sebagai sebuah negara bangsa, dengan masyarakat yang heterogen dan majemuk bisa bertahan hingga saat ini sebagai satu nation state yang maju dan modern. Menjadi tugas kita untuk melakukan penyesuaian, seiring dengan perkembangan dan kondisi zaman di mana demokrasi yang kompatibel dengan dasar negara kita yaitu Pancasila,” kata Mahfudz.
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto mengungkapkan, salah satu tantangan yang dihadapi Pancasila yaitu perpecahan akibat perbedaan pilihan politik. Ditambah lagi merebaknya kasus korupsi, dan tindakan amoral dari beberapa oknum kepolisian. Di sisi lain, kata Agus, dalam proses penyelenggaraan pemerintahan, KASN menjaga penerapan prinsip merit system serta pengawasan penerapan nilai dasar, kode etik dan kode perilaku ASN. Hal ini sekaligus untuk memastikan bahwa ideologi Pancasila dan wawasan kebangsaan, serta fungsi ASN sebagai perekat pemersatu NKRI tetap dijalankan oleh seluruh ASN di Indonesia.
“Kuncinya adalah pencegahan dan selalu mengingatkan kepada ASN untuk melihat kembali tugas utama serta kompetensinya sebagai abdi negara.”
Pemerhati isu strategis nasional dan global Prof. Dubes Imron Cotan mengatakan, setiap lima tahun ideologi Indonesia diuji daya lenturnya. “Kalau bangsa gagal mempertahankan daya lenturnya dan terus digempur serta dihantam setiap saat dengan politik pecah belah, eksistensi Pancasila dapat terancam dan Indonesia berpotensi menjadi negara gagal,” cetusnya.