Oleh : Naufal Putra Bratajaya )*
Menggunakan hak pilih pada Pemilu merupakan bukti seorang warga negara memiliki tanggung jawab dalam memilih calon pemimpin dan menyukseskan pesta demokrasi yang digelar.
Tanpa adanya partisipasi masyarakat alias golput, tentu saja pemilu yang digelar tidak akan tercapai maksimal bahkan bisa dikatakan gagal.
Tingginya angka golput menyebabkan rendahnya tingkat kepercayaan dan kredibilitas calon terpilih. Akibatnya pemerintah daerah tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik karena kurangnya dukungan politik.
Golput bukan hanya disebabkan keengganan untuk memilih, namun juga bisa terjadi karena berbagai halangan, seperti disabilitas. Sehingga perlu dibangun kesadaran kepada para pemangku kepentingan untuk dapat memfasilitasi atau memberian akses yang layak bagi pemilih disabilitas. Sebab mereka juga warga negara yang memiliki hak pilih dan dijamin oleh konstitusi.
Apalagi jika kita merujuk pada fakta bahwa jumlah golput pada pemilu 2019 mencapai angka 25 juta jiwa. Angka tersebut tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para penyelenggara pesta demokrasi saat Pemilu 2024.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menuturkan, bahwa salah satu penyebab tingginya angka golput adalah ketidaktahuan masyarakat terhadap calon yang dipilihnya.
Menurutnya suara yang disediakan untuk DPD RI hampir sama seperti suara partai, Namun pemilih DPD tidak banyak. Oleh karena itu Bagja berharap agar calon DPD RI sebaiknya meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pileg Perorangan.
Perilaku golput biasanya dilakukan oleh orang yang kritis yang memandang bahwa dalam pemilu tidak ada calon yang dianggapnya kredibel. Padahal golput hanya akan memberikan peluang bagi pihak yang kurang kompeten untuk memenangkan pemilu.
Tindakan golput memang sah secara hukum, sesuai dengan pasal 28 UUD dan Pasal 23 UU tentang HAM. Pasal 28 UUD berisi apa – apa saja yang dianggap hak asasi tiap manusia, sementara pasal 23 UU HAM berisi : “(1) setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya; (2) setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai – nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa.”
Meski demikian, masyarakat yang telah memiliki hak pilih sebaiknya menggunakan hak pilihnya, semakin besar partisipasi pemilih maka akan semakin baik legitimasi pemilu kita.
Jika pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu, maka dirinya tidak terlibat dalam menentukan nasibnya 5 tahun mendatang. Padahal kesempatan tersebut ada untuk memilih pemimpin baik di sektor legislatif maupun eksekutif.
Fenomena golput sendiri rupanya telah muncul pada 1971 sebagai bentuk penolakan terhadap rezim Orde Baru yang otoriter. Saat itu pemilihan umum di era orde baru muncul mobilisasi dan intimidasi agar mendukung Soeharto. Selain itu pemerintah juga menutup ruang bagi munculnya kekuatan oposisi.
Tentu saja masalahya berbeda dengan pemilu yang akan diselenggarakan pada 2024 nanti, karena pada pemilu kali ini tidak ada ruang tertutup untuk oposisi. Sehingga masyarakat perlu menggunakan hak pilihnya untuk dan tidak ada alasan untuk golput.
Generasi muda yang akan menggunakan hak pilihnya tentu saja perlu mempelajari siapa saja kandidat yang hendak maju dalam Pemilu nanti. Misalnya dengan cara mempelajari informasi kandidat calon pada website yang terpercaya seperti bawaslu RI atau KPU.
Selain itu, pelajari pula track record partai ataupun kandidat yang akan bertarung pada pemilu, hal tersebut diperlukan sebagai pertimbangan sebelum melangkah menuju bilik suara.
Di sisi lain, masyarakat juga harus menyaring informasi dan tidak menerima berita secara mentah-mentah. Apalagi hoax yang tersebar di media sosial sangatlah cepat menembus sekat digital yang sangat tipis.
Provokasi untuk golput pada pemilu bisa saja muncul, apalagi jika hal tersebut dibumbui dengan kutipan ayat yang dapat memperkeruh suasana jelang pemilu.
Golput lahir dari pemikiran sebagian orang yang menganggap bahwa pemerintahan hanya boleh diurus oleh pemimpin yang sesuai dengan konsep ideal kelompok mereka sendiri tanpa mau bernegosiasi dengan realitas yang ada.
Dalam konteks demokrasi, tentu masih banyak kelompok masyarakat yang kritis. Masih ada media dan pers yang siap mengawal janji – janji politisi setiap hari. Masih ada lembaga–lembaga sipil independen yang siap mengawal pemerintahan.
Sehingga, golput bisa dikatakan seperti mengabaikan satu fakta bahwa masih ada kelompok masyarakat cerdas lain dalam tatanan demokrasi selain mereka. Sikap golput seolah–olah melihat tidak ada lagi jalan keluar dan memandang cuma mereka saja yang punya konsepsi ideal. Lalu ketika konsep ideal tak dapat diterapkan, lantas mereka menyalahkan realita di lapangan.
Oleh karena itu, gunakanlah hak pilih demi terciptanya pemilu 2024 yang kredibel, transparan dan akuntabel, karena 5 menit nasib bangsa ditentukan oleh 5 menit di bilik suara.
)* Penulis adalah kontributor pada Lembaga Inti Media