Jakarta. Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja resmi menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna ke-19 masa sidang IV tahun sidang 2022-2023 di kompleks parlemen, Selasa (21/3). Ini menjadi pembahasan yang menarik di berbagai kalangan karena tujuan utama UU Cipta Kerja adalah untuk menciptakan iklim berusaha dan investasi yang berkualitas bagi para pelaku bisnis, termasuk UMKM dan investor asing.
Melihat pentingnya UU Cipta Kerja, Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia (GCKI) bekerjasama dengan Communi & Co menyelenggarakan webinar bertema “UU Ciptaker untuk Siapa” yang menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Founder GCKI Ellys L. Pambayun, Sekjen BPP HIPMI Anggawira, Pengamat Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal, dan Stafsus Mensesneg Faldo Maldini.
Fithra Faisal menyampaikan UU Cipta Kerja untuk menciptakan lapangan kerja sebesar-besarnya. Dari sisi magnitude, tujuan UU Cipta Kerja untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen. Dari target tersebut, kita bisa lepas dari jebakan pendapatan kelas menengah dan jika pertumbuhan ekonomi meningkat akan ada lapangan pekerjaan baru.
“Implementasi di lapangan dapat menjadi refleksi dari pelaksanan UU Cipta Kerja. Pada saat pandemi Covd-19, orang-orang berhenti melakukan kegiatan ekonomi, Pemerintah membuat Perppu yang kemudian disahkan menjadi UU Cipta kerja. Pada tahun 2020, kita tumbuh minus 2,27%, tapi bedasarkan hasil evaluasi simulasi yang kami lakukan, bila tidak ada UU yang melahirkan stimulus-stimulus fiskal, itu kita bisa minus 4%. Bila tidak ada UU yang dibuat maka pertumbuhan ekonomi hanya sedikit peningkatannya,” ucapnya.
Dalam webinar ini, Faldo Maldini menyampaikan bahwa dirinya sepakat dengan UU Cipta Kerja karena peraturan tumpang tindih selama bertahun-tahun dan tidak ada upaya serius untuk memperbaikinya. Ada niatan yang baik dengan hadirnya Omnibus Law untuk memperkuat institusi kita.
“Pemerintah sudah membentuk Satgas yang keliling Indonesia, secara sampling banyak masyarakat yang sudah terlibat termasuk perguruan tinggi. Namun, yang menjadi concern adalah diskusi di level substansi tetapi menimbulkan mispersepsi.” katanya.
Pihaknya juga menegaskan bahwa UU Cipta Kerja tidak pro ke oligarki karena pemerintah berupaya mengantisipasi krisis yang bisa berdampak pada PHK massal. Perusahaan tidak bisa semena-mena karena di UU Cipta Kerja, buruh tetap bisa berdemokrasi dengan bergabung atau mendirikan serikat buruh dan juga ada perlindungan buruh dari PHK.
Senada dengan hal itu, Anggawira menyampaikan bahwa modern problem need modern solution. Artinya, apa yang dilakukan Pemerintah dan DPR merupakan bagian dari mencari solusi komprehensif terhadap tantangan dan problematika yang ada.
“Ini adalah terobosan hukum yang ada. Sebab, tantangan ekonomi menjadi suatu hal yang perlu diselesaikan secara komprehensif. Jangan sampai Indonesia masuk ke dalam middle-income trap,” ujarnya.
Anggawira menambahkan dari sisi Gross domestic product (GDP) cukup besar dan dari sisi lainnya kita mempunyai peluang untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih merata melalui kemudahan investasi. Omnibus Law menjadi salah satu langkah yang cukup baik, karena tidak mungkin kita membahas undang-undanag satu persatu.
Pada kesempatan yang sama, Ellys menyampaikan bahwa komunikasi yang dilakukan Pemerintah baik komunikasi publik maupun komunikasi politik harus clear. Pemerintah perlu mengakomodasi aspirasi-aspirasi masyarakat. Seperto tipikal negara yang bersifat emosional dan influentif, sehingga membutuhkan cara pemerintah untuk menyosialisasikan secara kompleks agar bisa menyentuh masyarakat.
“Pemerintah dan DPR harus memiliki paradigma alternatif krena pemerintah hanya melihat secara makro. Kita bisa mencoba government supports communication untuk mengakomdasi aspirasi dan pemikiran-pemikiran masyarakat. Membangun sebuah bentuk media dan pesan yang sifatnya pro kepada masyarakat untuk komunikasi bersama. Jadikan kaum buruh sebaga subjek dari government supports communication,” pungkasnya.