Jakarta – Pemilu dan tahun politik selalu menjadi waktu yang menantang bagi bangsa Indonesia, karena situasi tersebut berpotensi memicu konflik dan perpecahan antara kelompok-kelompok masyarakat. Oleh karena itu, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa menjadi sangat penting untuk menjaga perdamaian di tengah situasi politik yang memanas.
Hal ini ditekankan oleh Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kyai Marsudi Syuhud, dalam sebuah program televisi yang digelar di Jakarta pada Jumat (24/2). Kyai Marsudi Syuhud menyatakan bahwa tahun politik memiliki ciri tersendiri, maka ketka mengambil posisi politik akan membentuk situasi yang bermacam-macam. Ritual Pemilu pun diharapkan menjadi ritual yang biasa saja sehingga masyarakat diimbau untuk tenang dan menyikapi secara biasa saja, apalagi jika sampai mengancam NKRI.
“Tujuan politik adalah untuk mengkomposisikan rencana-rencana lima tahun ke depan. Yang kedua adalah untuk menyatukan, jika masyarakat bangsa sudah disatukan maka kemudian harus gotong royong dan mengecilkan suara kebisingan. Oleh sebab itu Pemilu diharapkan berjalan aman dan nyaman,” kata Kyai Marsudi Syuhud.
Kyai Marsudi Syuhud menambahkan bahwa inti politik adalah tentang bagaimana untuk menyatukan bukan untuk mencerai beraikan.
“Misalnya di tempat ibadah, itu ada latar belakang yang berbeda semua bisa masuk masjid. Masjid atau gereja diharapkan dapat menyatukan segala background masyarakat bukan memecah belah. Jangan sampai pulang dari masjid malah memecah kerukunan bersama,” ujar Kyai Marsudi Syuhud.
Pihaknya juga mengungkapkan saat ini ketika muncul sedikit kalimat, masyarakat mudah terpicu untuk terpecah-belah yang akhirnya menimbulkan permusuhan.
“Ini yang jangan diulang. Apalagi jika ke depan ada statement yang tidak nyatanya begitu. Masyarakat Indonesia harus waspada dan melihat latar belakangnya dan kita harus memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari keanekaragaman bangsa kita. Oleh karena itu, kita harus mampu menjaga kerukunan antar umat beragama dan menghargai perbedaan yang ada,” imbuhnya.
Kyai Marsudi Syuhud juga menegaskan bahwa sebagai umat beragama, kita harus menunjukkan sikap toleransi dan menghindari tindakan yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
“Sebagai umat beragama, kita harus menunjukkan sikap toleransi dan saling menghormati. Kita harus menghindari segala bentuk tindakan yang dapat merusak persatuan dan kesatuan bangsa, baik itu dalam bentuk ujaran kebencian, tindakan intoleransi, maupun tindakan kekerasan,” tegas Kyai Marsudi Syuhud.
Terkait pernyataan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu, Kyai Marsudi Syuhud memandang bahwa ketika seseorang membicarakan satu statement atau melafalkan, maka yang mengerti adalah orang yang mengungkapkannya.
“Nah, jika ada orang lain yang menanggapi statement itu, mungkin ada pasnya, mungkin ada tidak pasnya. Karena bagi orang yang menanggapi, itu adalah sesuatu yang kira-kira, berupa tafsiran mereka sendiri. Tafsiran itu bisa benar dan salah. Oleh sebab itu ada konteks namanya tabayun, karena pastinya Bu Megawati tidak bermaksud seperti itu, kita harus husnudzon dan tenang demi menjaga perdamaian dan persatuan ” jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Dr. Aditya Perdana menyatakan dalam era digital ini tidak mudah karena sepanjang apapun pernyataannya akan dipotong-potong sesuai kepentingan kelompok yang kemudian akan diviralkan. Hal ini tentu punya tujuan karena ini akan menyebar.
“Semua pihak mungkin akan menghalalkan segala cara dalam memenangkan pertarungan selama Pemilu. Oleh sebab itu perlu diingatkan. Selain itu ketika ada berita hoax, publik perlu keyakinan agar selalu berhati-hati dan menguatkan literasi digital, termasuk saring sebelum sharing. Karena penetrasi internet hebat dan kita harus mewaspadai hal itu, apalagi terkait isu etnis, keagamaan dan sebaiknya, ini perlu dibatasi,” pungkas Aditya.