Manokwari — Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) terus menggelar rangkaian kegiatan sosialisasi mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional di beberapa daerah di Indonesia.
Terbaru, mereka melaksanakan kegiatan sosialisasi tersebut di Swiss Bell Hotel Manokwari, Papua Barat pada 8 Februari 2023, bekerja sama dengan Universitas Papua.
Dalam acara tersebut, turut hadir pula Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Prof. Dr. Pujiyono, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (UNPAD), Prof. Romli Atmasasmita, dan Guru Besar Universitas Jember, Prof.Dr. M. Arief Amrullah
Pada sosialisasi KUHP yang diselenggarakan oleh Mahupiki, Prof. Dr. Pujiyono, menjelaskan bahwa Pancasila merupakan ide dasar dari pembentukan KUHP baru atau nasional.
“kalau kita bicara terkait dengan KUHP kita yang baru ini adalah sebuah KUHP yang bersifat tidak hanya modern, tetapi juga KUHP yang bersumber dari ide dasar dari bangsa Indonesia itu sendiri,” jelas Pujyiono.
Ia juga menambahkan bahwa Pengesahan KUHP baru yang disetujui oleh DPR RI pada 6 Desember 2022 ini merupakan salah satu bentuk dekolonilaisasi dari sistem hukum pidana yang masih diadopsi hingga tiga tahun mendatang.
“misi utama dahulunya adalah melakukan dekolonialisasi dalam bidang hukum. Karena apa? Apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, polisi, jaksa, pak hakim, dan yang lain lain itu terkurung di dalam aplikasinya oleh doktrin doktrin kolonial.,” imbuh prof Pujiyono.
Sementara itu, Prof. Romli Atmasasmita, menjelaskan sejarah penjang mengenai perkembangan penyusunan KUHP nasional. Menurutnya, KUHP yang kita gunakan saat ini adalah KUHP yang berdasarkan atas pemikiran kolonial penjajahan Hindia Belanda.
“Tapi supaya diketahui kitab undang undang yang digunakan sehari hari selama ini yang sering menimbulkan masalah adalah undang undang pidana Hindia Belanda.” ujar Prof Romli.
Namun demikian, Prof Romli menambahkan bahwa KUHP baru atau nasional ini merupakan salah satu upaya dekolonialisasi system hukum pidana Indonesia yang selama ini digunakan hingga tiga tahun mendatang.
“Perlu ada yang namanya dekolonisasi KUHP yang kita pakai hari ini. Dekolonisasi karena itu berbau kolonial penjajahan. dengan dekolonialisasi diharapkan kita bisa beradaptasi dengan perkembangan nasional dan internasional.” kata Prof Romli.
Di sisi lain, Guru Besar Universitas Jember, Prof.Dr. M. Arief Amrullah menegaskan bahwa materi hukum pidana nasional mengatur keseimbangan antara, kepentingan masyarakat dan kepentingan individu atau yang disebut dengan keseimbangan monodualistik.
Hukum pidana selain memperhatikan segi objektif dari perbuatan, lanjut dia, tetapi juga memperhatikan dari segi subjektif dari pelaku.
“KUHP nasional kita atau sering juga disebut KUHP baru ini mengandung muatan keseimbangan. Mengandung keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu jadi istilahnya tuh proporsional nantinya,” ujar Prof Arief
“itu yang disebut dengan istilahnya keseimbangan monodualistik ya jadi antara asas legalitas yang disebut juga itu asas kemasyarakatan dan juga asas kemanusiaan,” lanjut Prof Arief.