MANOKWARI – Sekjen Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), Dr.Ahmad Sofyan mengatakan sosialisasi KUHP Nasional dirancang bukan hanya mendiseminasikan kepada masyarakat namun juga berdialog langsung dengan penyusunnya tentang KUHP Nasional atau KUHP Baru.
Hal tersebut diungkapkan Sekjen MAHUPIKI dalam Sosialisasi KUHP Baru yang diadakan Mahupik bekerjasama dengan Universitas Papua di Hotel Swissbel Manokwari Papua Barat, Rabu (8/2/2023).
Pada kesempatan ini, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Prof. Romli Atmasasmita mengatakan selama ini Indonesia menggunakan KUHP yang berasal dari Belanda dengan nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlansch Indie (WvS), dan telah ada sejak tahun 1918. Kemudian WvS tersebut selanjutnya diadopsi menjadi hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
“KUHP Nasional telah banyak menyerap masukan dari berbagai unsur masyarakat melalui “Public Hearing”. Pelaksanaan Public Hearing merupakan salah satu upaya pemenuhan partisipasi masyarakat dalam Pasal 96 UU 12/2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan” ujar Prof. Romli.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Jember Prof. Arief Amrullah mengatakan Indonesia saat ini bisa berbangga diri karena memiliki KUHP Baru atau KUHP Nasional dimana sebelumnya lebih dari 100 tahun KUHP produk dari Belanda telah berlaku di Indonesia. Saat ini, Indonesia telah memiliki UU No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. KUHP Baru disahkan tanggal 2 Januari 2023, terdiri dari Buku I dan Buku II, dengan jumlah Pasal sebanyak 624 pasal.
“Masyarakat harus mengetahui mengapa KUHP turunan Belanda harus digantikan dengan KUHP Baru yang telah disusun oleh Pakar – Pakar Hukum terbaik Bangsa Indonesia. Alasannya diantaranya secara politik jika Indonesia masih menggunakan KUHP (WvS), berarti Indonesia masih dalam jajahan Belanda. Sedangkan secara sosiologis, KUHP (WvS) tidak mendasarkan pada konteks Bangsa Indonesia itu sendiri,” jelas Prof. Arief Amrullah.
Sementara Guru Besar Universitas Diponegoro Prof Pujioyono menjelaskan ada sejumlah isu aktual dalam KUHP Baru atau KUHP Nasional, diantaranya Living law atau hukum adat, aborsi, kontrasepsi, perzinaan, kohabitasi, perbuatan cabul, tindak pidana terhadap agama atau kepercayaan dan tindak pidana yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi.
“Hukum pidana adat atau delik adat yang berlaku didasarkan pada penelitian empiris dan akan menjadi dasar bagi pembentukan Peraturan Daerah (Perda)”, tutur Prof Pujiyono.
Tidak hanya itu, menurut Prof Pujiyono perlu dipahami juga oleh masyarakat terkait dengan pasal 218 tentang penyerangan harkat dan martabat Presiden dan pasal 240 tentang penghinaan pemerintah atau lembaga negara. Pasal – pasal tersebut tidak membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, karena dalam penjelasan pasalnya sudah diberikan bahwa kritik, unjuk rasa dan pendapat yang berbeda tidak dapat dipidana.
“Tidak akan ada proses hukum tanpa adanya pengaduan yang sah dari pihak yang berhak mengadu, yaitu Presiden atau Wapres (Pasal 218 UU KUHP) dan Pimpinan Lembaga Negara (Pasal 240 UU KUHP),” ujar. Prof Pujiyono.
***