Oleh : Agus Syarifudin )*
Sosialisasi KUHP Nasional terus dilakukan dengan mengedepankan literasi bahwa sistem hukum tersebut mengakomodir dan menghormati nilai-nilai budaya khas bangsa Indonesia. KUHP Nasional juga mampu melindungi adanya ruang privat yang dimiliki oleh seluruh masyarakat di Tanah Air dengan keberlakuan Pasal Kohabitasi yang berjenis delik aduan.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) secara resmi telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang (UU) KUHP pada tanggal 6 Desember 2022 lalu. Rencananya, keberadaan UU KUHP ini akan mampu menggantikan keberlakuan KUHP lama peninggalan jaman kolonial Belanda yang bahkan sudah digunakan sejak lebih dari 100 (seratus) tahun yang lalu.
Kemudian, pada tanggal 2 Januari 2023, Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo juga telah secara resmi melakukan pengesahan pada UU KUHP dengan menandatangani Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan sekaligus juga diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Pratikno. Sebagai informasi bahwa KUHP Nasional ini merupakan sebuah produk hukum pertama yang diresmikan oleh Pemerintah RI pada tahun 2023 ini.
UU KUHP terbaru itu sendiri terdiri dari sebanyak 37 bab, dengan berisi sebanyak 624 pasal dan juga tertulis dalam 354 halaman yang seluruhnya terbagi dalam dua bagian, yakni bagian pasal dan juga penjelas serta di dalam KUHP Nasional yang juga turut mengkodifikasi sejumlah UU lainnya.
Pada bagian penjelasan dalam KUHP Nasional ini tertulis bahwa penyusunan UU tersebut memang ditujukan untuk menggantikan keberadaan dan keberlakuan Wetboek vam Strafrecht atau yang biasa dikenal dengan sebutan KUHP lama, yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 silam tentang Peraturan Hukum Pidana.
Salah satu alasan paling mendasar akan sangat pentingnya adanya kebaharuan sistem hukum yang dirancang sendiri oleh anak bangsa, dalam kaitannya mampu menggantikan keberadaan sistem hukum yang dirancang oleh pihak kolonial adalah mengenai bagaimana nilai-nilai yang tercermin dalam sistem hukum tersebut.
Sama sekali tidak bisa dipungkiri lagi bahwa nilai-nilai yang tercermin dalam KUHP lama tidaklah sesuai dengan bagaimana nilai-nilai yang ada pada budaya khas bangsa ini, selain itu juga tidak sedikit diantaranya sudah sangat tidak relevan lagi apabila harus diterapkan di jaman sekarang.
Kemudian, yang termasuk ke dalam salah satu nilai pada budaya khas bangsa ini adalah terkait dengan seperangkat norma dan moral mengenai bagaimana dianggap tabunya tatkala ada sepasang kekasih yang tinggal dalam satu ruangan yang sama, namun tanpa adanya status pernikahan secara resmi, atau biasa dikenal dengan istilah kumpul kebo atau kohabitasi.
Untuk itu, lantaran KUHP Nasional sangat mewadahi nilai-nilai khas budaya tersebut, maka menjadi tidak heran bahwa Pasal Kohabitasi juga dimasukkan dalam sistem hukum buatan anak bangsa ini. Meski begitu, namun nyatanya tidak serta-merta membuat negara langsung berbuat seenaknya dengan ruang privat yang dimiliki oleh warganya, sehingga justru Pasal Kohabitasi tersebut sekaligus mampu melindungi ruang privat itu.
Terkait hal tersebut, Guru Besar Fakultas Hukum (FH) UI, Prof. Topo Santoso menegaskan salah satu perbedaan antara KUHP baru atau nasional dengan KUHP yang lama atau Wetboek van Strafrecht (WvS) adalah sudah munculnya pembahasan beserta naskah akademiknya dalam bab atau buku tindak pidana, pertanggung jawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.
Justru karena berjenis delik aduan, maka memang merngharuskan terlebih dahulu adanya pelaporan yang dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Sehingga tidak mungkin terjadi adanya proses hukum tanpa terjadi pengaduan sebelumnya dari pihak yang berhak atau dirugikan secara langsung.
Lebih lanjut, Akademisi Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo menjelaskan bahwa justru dengan adanya Pasal Kohabitasi tersebut dalam KUHP Nasional, maka membuatnya menjadi sebuah produk hukum yang sangat menghormati keberadaan nilai-nilai khas budaya bangsa Indonesia.
Kemudian menurutnya, terkait dengan upaya dalam Pasal Kohabitasi di KUHP Nasional untuk melindungi ruang privat masyarakat, memang terdapat batasan agar tidak semua orang bisa melakukan pengaduan. Karena memang tujuan utama dari Pasal Kohabitasi tersebut, termasuk juga mampu menghormati lembaga perkawinan yang telah termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 sekaligus tetap melindungi ruang privat masyarakat.
Apabila masih terdapat pro dan kontra, yang mana ketika ada beberapa pihak masyarakat yang masih keberatan dengan adanya KUHP Nasional, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana Prof. Indriyanto Seno Adji menjelaskan tindak pidana secara umum bersifat sangat dinamis mengikuti perkembangan dan dinamika global, regional, hingga nasional. Oleh karenanya perlunya pembaruan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia melalui KUHP nasional ini.
Sosialisasi KUHP Nasional di Semarang merupakan salah satu upaya untuk menyebarluaskan nilai-nilai yang terkandung dalam pasal KUHP Nasional. Hal ini juga menunjukkan bahwa Pemerintah berkomitmen terus menjaga semangat demokrasi.
)* Penulis adalah alumni Universitas Negeri Semaran