Oleh : Deka Prawira )*
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional dinilai merupakan sebuah produk hukum yang sangat demokratis oleh sejumlah akademisi. Hal tersebut dikarenakan KUHP buatan anak bangs aini, telah menampung seluruh aspirasi publik bahkan hingga masyarakat adat dalam segala proses pembuatan dan penyusunannya,
Dalam rangka mewujudkan hukum pidana nasional asli milik Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemerintah RI telah menetapkan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sebuah wujud penyesuaian terhadap banyak hal.
Beberapa penyesuaian yang terdapat dalam KUHP Nasional adalah mengenai politik hukum, keadaan dan juga bagaimana perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia yang telah disesuaikan pula dan menjadi sebuah produk hukum yang sangat menjunjung adanya hak asasi manusia (HAM) secara universal.
Sebagai informasi, UU Nomor 1 Tahun 2023 tersebut akan benar-benar berlaku secara menyeluruh setelah masa transisi, yakni selama 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Desember 2022 lalu, sehingga akan benar-benar berlaku pada tahun 2025 mendatang. KUHP Nasional ini sendiri merupakan seperangkat peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiel di Tanah Air.
Dengan adanya pengesahan KUHP Nasional melalui UU Nomor 1 Tahun 2023 tersebut, maka juga secara sekaligus langsung akan menggantikan keberadaan dan keberlakuan Wetboek van Strafrecht (WvS) atau yang biasa disebut dengan KUHP lama sebagaimana telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 silam tentang Peraturan Hukum Pidana.
Tentunya, Pemerintah bersama dengan DPR RI tidak serta-merta langsung mengesahkan KUHP Nasional ini, melainkan telah sangat banyak proses perancangan dan perumusan yang telah dilalui dan dibantu oleh banyak pihak termasuk pada akademisi hingga seluruh elemen masyarakat Indonesia sendiri. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional telah menampung seluruh aspirasi publik.
Terkait hal ini, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana, Prof. Indriyanto Seno Adji menilai bahwa keberadaan sistem hukum asli buatan anak bangsa ini sudah sangatlah progresif, moderat dan juga netral serta sangat demokratis. Bukan tanpa alasan penilaian tersebut datang, pasalnya memang dalam KUHP Nasional telah berhasil menampung banyak aspirasi publik termasuk juga masyarakat adat.
Demokratisasi yang ada pada KUHP Nasional sendiri lantaran dalam seluruh proses penyusunan dan perancangannya telah mempertimbangkan dan juga mengakomodir masukan-masukan dari seluruh masyarakat sipil, para praktisi hukum dan juga para akademisi hukum. Bahkan juga termasuk terdapat representasi masyarakat adat sebagai bentuk dari penerapan meaningful public participation yang telah sesuai dengan mandat dari Undang-Undang (UU).
Dalam sebuah kegiatan sosialisasi yang digelar oleh Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi (Mahupiki) di Semarang, Jawa Tengah pada Rabu, 1 Februari 2023, Prof. Indriyanto memaparkan bahwa untuk konsolidasi dalam suatu rekodifikasi hukum, Tindak Pidana khusus dikelompokkan dalam 1 Bab tersendiri dalam UU KUHP yaitu Bab Tindak Pidana Khusus yang dirumuskan secara umum/Tindak Pidana Pokok (core crime) yang berfungsi sebagai ketentuan penghubung (bridging articles) antara KUHP dan Undang-Undang diluar KUHP yang mengatur Tindak Pidana dalam Bab Tindak Pidana Khusus.
Terkait beragam isu aktual KUHP baru, Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo mengungkapkan bahwa terdapat kekeliruan persepsi dari masyarakat dengan pengakuan hukum adat yakni anggapan terjadi penyimpangan asas legalitas. Namun, Ini sama sekali tidak benar karena living law merupakan ketentuan yang ditemukan secara ilmiah.
Living Law sebagai bentuk pengakuan & penghormatan terhadap hukum adat (delik adat) yang masih hidup, akan tetapi dibatasi oleh Pancasila, UUD NRI 1945, HAM, dan asas-asas hukum umum yang berlaku dalam masyarakat bangsa-bangsa.
Dalam kesempatan yang sama Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Profesor Topo Santoso menjelaskan bahwa pada Bab I di Buku I, sekarang sudah mengakomodasi banyak perubahan di jaman modern, yang mana belum tercakup dalam KUHP lama, begitu juga asas-asas yang lain juga mengakomodir banyak perkembangan jaman modern.
Pengesahan KUHP baru sudah mewadahi kepentingan banyak sekali pihak, lantaran hukum pidananya mampu melindungi kepentingan pribadi, masyarakat hingga negara.
Sistematika struktur hukum pidana dalam KUHP baru atau nasional. Prof Topo menjelaskan bahwa terdapat tiga pilar dalam KUHP baru yang fundamental. Trias hukum pidana itu adalah tiga bagian paling penting dari hukum pidana materil, pertama adalah tindak pidana, kedua adalah pertanggung jawaban pidana, dan ketiga adalah pidana dan pemidaan.
Selain itu, KUHP baru menghentikan perdebatan soal istilah perbuatan pidana, peristiwa pidana, dan istilah-istilah lain semua disatukan menjadi istilah tindak pidana.
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa memang KUHP Nasional, yang telah disahkan oleh Pemerintah RI sebagai UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan sebuah produk hukum yang sangatlah demokratis. Hal tersebut dikarenakan di dalamnya telah menampung seluruh aspirasi publik termasuk juga masyarakat adat. []
)* Penulis adalah kontributor Lingkar Pers dan Mahasiswa Cikini